PROSPEK PAJAK 2023 Menyudahi ‘Romantika’ Setoran Negara

30 January 2023

Tegar Arief
Kamis, 26/01/2023

Bisnis – Harus diakui, kinerja pajak pada tahun lalu memang gemilang. Setoran senilai Rp1.716,76 triliun itu setara dengan 115,61% dari target dan berhasil naik hingga 34,27% (year-on-year/YoY).

Tak hanya itu saja, performa pajak sepanjang tahun ketiga pandemi Covid-19 juga merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah.

Data itu memang cukup masuk di akal tatkala menjadi dasar untuk menguatkan pijakan optimisme pemangku kebijakan dalam mengelola ekonomi di warsa yang masih tak pasti ini.

Akan tetapi, rasanya cukup sudah pemerintah menikmati romantika setoran negara. Saatnya berbenah untuk menata ulang strategi memungut pajak agar mampu mengulang prestasi serupa pada tahun ini.

Maklum, 2023 penuh dengan ketidakpastian yang berisiko mereduksi kinerja ekonomi dan memengaruhi penerimaan pajak. Pertama, risiko rambatan resesi global ke ekonomi nasional yang akan berimpak ke segala sektor.

Kedua, normalisasi harga komoditas yang memperlambat aliran dari pajak setelah berhasil menciptakan windfall dalam 2 tahun terakhir terutama dari sumber daya alam (SDA).

Ketiga, tidak adanya momentum berulang sebagaimana terjadi pada tahun lalu. Misalnya, Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau Tax Amnesty, hingga kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 11%.

Otoritas fiskal pun sejatinya menyadari betul risiko-risiko tersebut lantas kemudian diejawantahkan ke dalam postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 yang telah diakui sangat moderat.

Tahun konsolidasi ini, target pajak ditetapkan senilai Rp1.718 triliun, alias relatif tak berubah dibandingkan dengan realisasi pada tahun lalu.

“Target APBN 2023 dibandingkan dengan realisasi 2022 relatif sama kalau pajak. Inilah menjadi tantangan,” kata Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal, Rabu (25/1).

Sudah kewajiban bagi pemerintah untuk menanamkan optimisme dalam setiap kebijakan atau kerangka yang disusun dalam rangka mengamankan stabilitas ekonomi.

Akan tetapi, otoritas fiskal pun cukup realistis meneropong arah ekonomi pada tahun ini. Memang, dari sisi domestik perekonomian terbilang cukup solid yang ditandai dengan estimasi pertumbuhan di level 5% pada 2022.

Inflasi indeks harga konsumen (IHK) pun berakhir pada level di bawah estimasi yakni kisaram 5% kendati dihadapkan pada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada September tahun lalu.

Persoalannya, sebagai sebuah negara Indonesia tidak berdiri sendiri. Ekonomi nasional juga memiliki sensitivitas yang cukup tinggi dengan beragam dinamika di kancah global.

Meskipun estimasi berbagai lembaga resesi dunia pada 2023 akan berakhir lebih ramah dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya, hal yang perlu diingat adalah resesi tetaplah resesi.

Apalagi, kemarin, Rabu (25/1), Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memangkas prediksi pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun ini dari 2,6% menjadi 2,3%.

Tentu perlambatan itu akan memengaruhi kinerja pajak baik yang bersumber dari perdagangan alias Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi, hingga pajak korporasi.

Jangankan mampu tumbuh akseleratif sebagaimana dalam 2 tahun terakhir, untuk menembus target yang ditetapkan itu pun masih penuh dengan tanda tanya.

“Ada bagian dari pendapatan termasuk pajak pada 2022 yang agak sulit dicapai pada 2023,” kata Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Rahadian Zulfadin.

Sejalan dengan pesimisme itu, beberapa indikator utama kinerja pajak pun diprediksi akan kembali lemah pada tahun ini, setelah pada 2021 dan 2022 berhasil mencatatkan kinerja yang moncer.

Tax buoyancy misalnya, yang diperkirakan hanya 0,09 pada tahun ini setelah berhasil parkir pada angka 2 dalam dua warsa terakhir. Artinya, terjadi ketidakseimbangan antara peneriman pajak dan pertumbuhan ekonomi.

Apabila tax buoyancy hanya 0,09, maka setiap 1% pertumbuhan ekonomi nasional hanya berkontribusi pada penerimaan pajak sebesar 0,09% alias tidak tercipta elastisitas.

Angka tax buoyancy di bawah 1 mengakibatkan tren penurunan rasio pajak karena pertumbuhan ekonomi jauh lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan penerimaan pajak.

Dalam konsep ideal, ketika ekonomi berada pada kondisi krisis atau tertekan alias dalam masa pemulihan seperti pada 2020–2022, tax buoyancy seharusnya tidak terlalu tinggi.

Tax buoyancy yang tinggi pada saat ekonomi normal menunjukkan hal bagus. Akan tetapi, ketika krisis dan poduk domestik bruto (PDB) tertekan, seharusnya tax buoyancy juga ikut tertekan.

“Jika tax buoyancy tinggi saat krisis, kondisi demikian tidak selalu mencerminkan kondisi fiskal yang bagus,” kata Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institue Prianto Budi Saptono kepada Bisnis.

Selain tax buoyancy, indikator kinerja pajak yang buruk juga terefleksi dalam rasio pajak alias tax ratio, yang dalam konteks ini pemerintah menggunakan makna rasio pajak dalam arti menengah.

Rasio pajak ini dihitung dengan menambahkan penerimaan pajak serta bea dan cukai alias perpajakan, yang kemudian dibagi dengan asumsi PDB. Pemerintah mencatat, rasio pajak sepanjang tahun lalu mencapai level yang cukup fantastis, yakni sebesar 10,4%.

Sayangnya, kisah manis itu akan sulit terulang pada tahun ini yang menurut penghitungan Bisnis rasio pajak hanya berada di angka 9,59%.

Angka itu dihitung dengan menggunakan asumsi defisit anggaran 2023 senilai Rp598,1 triliun atau 2,84% terhadap PDB, sehingga menghasilkan nilai PDB Rp21.059 triiun.

Adapun, penerimaan perpajakan pada tahun ini ditargetkan Rp2.021,2 triliun, sehingga rasio perpajakan pada warsa konsolidasi hanya 9,59%, alias meninggalkan level dobel digit.

Agar dapat mencapai titik yang sama memang amat dibutuhkan upaya ekstra yang besar. Strategi usang seperti ‘berburu di kebun binatang’ pun tak lagi ideal untuk berhasil mencatatkan tintas emas rasio pajak.

Apabila dicermati, pada tahun ini memang ada beberapa momentum yang berpotensi menambah penerimaan negara, terutama dari sisi PPh.

Di antaranya melalui efektivitas penambahan lapisan penghasilan kena pajak dan pajak atas natura atau kenikmatan.

Persoalannya, kedua strategi itu hanya mencakup segelintir wajib pajak tertentu yakni yang tergolong sebagai masyarakat kelas atas. Wajib pajak kelas ini pun jumlahnya amat terbatas.

“Menjaga pertumbuhan pajak yang untuk tetap positif pada 2023 adalah tugas yang berat,” kata Peneliti Perpajakan Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar.

Berkaca pada kondisi di atas, pemerintah wajib bergegas melakukan antisipasi dan menempuh langkah luar biasa untuk menjaga kinerja pajak tetap positif.

Salah satunya melalui optimalisasi UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang amat diandalkan oleh pemerintah.

Misalnya dengan mempercepat penerbitan aturan teknis di tingkat Menteri Keuangan agar seluruh regulasi turunan UU HPP bisa dieksekusi, baik yang berkaitan dengan PPh maupun PPN.

Jika tidak, maka prestasi pajak pada tahun lalu hanya bisa dijadikan romantika yang entah kapan lagi bisa terulang. (Dionisio Damara/Annasa Rizki Kamalina)

Editor : Tegar Arief