PPh BADAN Kans Tinggi Pajak Korporasi

03 April 2023

Tegar Arief
Jum’at, 31/03/2023

Bisnis – Soal pajak, otoritas fiskal boleh sedikit lega. Upaya mereka mengejar target penerimaan pajak korporasi bakal lebih ringan menyusul bertambahnya korporasi yang wajib melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan alias pembayar pajak baru.

Berdasarkan data Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, total wajib pajak badan wajib SPT pada tahun ini mencapai 1,93 juta, naik sebesar 22,92% jika dibandingkan dengan tahun lalu.

Angka pertumbuhan itu merupakan yang tertinggi, bahkan melampaui capaian prapandemi. Pertumbuhan jumlah perusahaan yang wajib SPT tertinggi sebelumnya terjadi pada 2018 yakni 22,13%.

Artinya, ada banyak perusahaan baru yang berkontribusi pada pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) Badan. Data ini pun mengonfirmasi bahwa pemulihan ekonomi berlangsung sesuai jalur sehingga mengerek omzet dunia usaha.

Penambahan kontributor pajak dari dunia bisnis ini pun akan memudahkan pemerintah dalam menggapai target penerimaan PPh Badan yang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 ditetapkan senilai Rp349,93 triliun.

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal, mengatakan pemulihan ekonomi memang telah berjalan dengan optimal, tecermin dari realisasi penerimaan pajak yang per Februari 2023 tumbuh 40,35% (year-on-year/YoY).

“Kalau melihat perkembangan penerimaan PPh Badan sampai Februari sejauh ini masih sangat baik, pertumbuhannya masih sangat kuat di angka 33%,” katanya kepada Bisnis, Kamis (30/3).

Yon optimistis kontribusi dunia usaha pada penerimaan negara berpotensi akan eksis di level tinggi sejalan dengan implementasi penuh UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Namun demikian, pemerintah pun tetap mewaspadai beragam dinamika yang berisiko menghambat setoran pajak korporasi, baik dari domestik maupun eksternal.

Dari dalam negeri, ekonomi nasional tengah dihadapkan pada luputnya kendali inflasi sehingga berisiko menekan daya beli masyarakat. Jika tak dikendalikan, kondisi ini akan memengaruhi penghasilan dunia usaha.

Adapun dari eksternal, ketidakpastian akibat kondisi geopolitik dan normalisasi harga komoditas sumber daya alam (SDA) menjadi aral yang bisa membatasi setoran pajak badan.

“Kami tetap waspada melihat pada volatilitas harga komoditas dan kondisi geo­politik,” ujarnya.

RISIKO GLOBAL

Kekhawatiran yang disampaikan pemerintah itu selaras dengan kecemasan di kalangan pelaku usaha yang masih waswas dengan dinamika perekonomian global.

Pasalnya, apabila pemangku kebijakan tidak mengantisipasi risiko yang mungkin terjadi, maka penambahan jumlah pembayar pajak dari per­­usahaan itu tidak akan mendorong penerimaan karena penghasilan korporasi yang terpangkas.

Tak hanya inflasi global, krisis di industri perbankan pun perlu segera direspons untuk menjaga momentum pertumbuhan dunia usaha. Pun demikian dengan tren pengetatan kebijakan moneter.

Apalagi, suku bunga acuan yang makin tinggi bakal membatasi ekspansi bisnis sehingga memengaruhi penghasilan yang diterima perusahaan dan bermuara pada seretnya setoran ke negara.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani, mengatakan kendala lain yang dihadapi saat ini adalah terhambatnya pasar ekspor yang dilingkupi ketidakpastian akibat perang Rusia-Ukraina.

“Market-nya masih belum pasti. Artinya kemungkinan buat drop lagi masih mungkin karena kan related sama perang Ukraina,” katanya.

Tantangan lain yang butuh intervensi pemerintah adalah terbatasnya ketersediaan bahan baku akibat terantuk pengetatan regulasi impor. Alhasil, aktivitas produksi pun tersendat.

Selain itu, faktor biaya juga dilihat sebagai tantangan yang bakal dihadapi dunia bisnis pada tahun ini, yang dipicu oleh belum lancarnya pipa distribusi global.

“Faktor harga itu juga bisa terpengaruh, cost produksinya. Itu bisa membuat kinerja keuangan dari perusahaan tertekan, jadi labanya sedikit,” katanya.

Sementara itu, kalangan pemerhati pajak memandang bertambahnya jumlah korporasi pengisi kantong negara ini perlu dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menggali potensi penerimaan lebih dalam.

Contohnya dengan menciptakan iklim bisnis yang kondusif pada tahun politik, serta menutup celah penghindaran pajak.

Direktur Eksekutif Pratama Kreston Tax Research Institue Prianto Budi Saptono, mengatakan ekosistem PPh Badan masih terganggu oleh praktik penghindaran pajak lintas negara.

Fenomena base erosion and profil shifting (BEPS) ini pun menjadi tantangan dan kendala karena eksistensi kecurangan itu linier dengan penambahan jumlah wajib pajak.

Salah satu praktiknya adalah dengan pencatatan rugi usaha di Indonesia yang disebabkan oleh alokasi biaya dari grup usaha yang ada di yurisdiksi lain. “Ini kemudian yang menjadi kendala dan tantangan,” katanya.

Prianto menambahkan, guna menutup celah itu maka otoritas fiskal harus mengoptimalkan General Anti Avoidance Rule (GAAR) yang tertuang dalam PP No. 55/2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan.

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar, mengatakan peningkatan jumlah wajib pajak badan memang dapat menjadi indikasi perbaikan kondisi ekonomi.

Namun menurutnya, tidak sedikit pula korporasi yang berstatus wajib SPT karena bertujuan hanya untuk memanfaatkan insentif PPh Final yang disediakan oleh pemerintah.

“Untungnya yang memanfaatkan PPh Final itu hanya sektor tertentu. Jadi data ini sinyal kondisi ekonomi membaik,” ujarnya. (Dionisio Damara/

Annasa Rizki Kamalina/Ni Luh Anggela)

Editor : Tegar Arief