PPnBM dan DP 0%: Nasib Bisnis Mobil Ditentukan Bulan Depan!

19 February 2021

CNBC Indonesia

 

18 February 2021

Jakarta, CNBC Indonesia – Penjualan mobil secara wholesales maupun ritel masih lesu di awal Januari 2021. Hal ini tercermin dari data yang dirilis oleh Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO).  Hal ini jelang kebijakan PPnBM 0% dan DP 0% bagi kredit kendaraan bermotor mulai Maret melalui bank.

Volume penjualan mobil secara wholesales di bulan Januari sebanyak 52.910 unit atau turun 8% (mom) dibanding bulan Desember 2020 yang mencapai 57.507 unit.

Sementara itu jika dibandingkan dengan bulan yang sama tahun 2020, volume penjualan anjlok 34% (yoy). Pada bulan pertama tahun lalu volume penjualan mobil secara wholesales mencapai 80.435 unit.

 

Penjualan secara ritel juga masih tertekan. Buktinya volume mobil yang terjual ke pelanggan di bulan Januari 2021 hanya sebanyak 53.997 unit. Padahal di bulan Desember penjualannya mencapai 69.139 unit. Artinya ada penurunan sebesar 22% (mom).

Apabila dibandingkan dengan bulan Januari 2020, maka kontraksinya lebih besar. Volume penjualan kendaraan roda empat ini di awal tahun lalu tercatat mencapai 81.059 unit. Itu berarti terjadi kontraksi sekitar 33% (yoy).

Mobil pabrikan Toyota dan Daihatsu masih mengusai pasar Indonesia. Market share kedua merek mobil tersebut hampir mencapai 50% di Tanah Air. Lebih dari 80% pangsa pasar penjualan mobil domestik didominasi oleh mobil-mobil Jepang yakni Toyota, Daihatsu, Honda, Mitsubishi dan Suzuki.

Masih tertekannya penjualan mobil di awal tahun dipicu oleh beberapa faktor. Pertama adalah pengetatan pembatasan mobilitas publik di wilayah Jawa-Bali.

Kebijakan yang dikenal dengan sebutan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang ditetapkan pemerintah sejak pertengahan Januari tersebut membuat kunjungan ke dealer masih rendah.

Di sisi lain simpang siur kebijakan pemerintah untuk memberikan relaksasi pajak juga turut membuat konsumen menahan diri untuk berbelanja sebelum mendapatkan kejelasan atas rumor yang beredar dan sempat ditepis oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani tersebut.

Namun seiring dengan berjalannya waktu, pemerintah akhirnya memutuskan untuk memberikan relaksasi terhadap Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM). Insentif tersebut terbagi menjadi tiga tahap yang akan dievaluasi per tiga bulan.

Untuk tiga bulan pertama dari Maret-Mei 2021, insentif yang akan dikenakan sebesar 100% atau berlaku pajak PPnBM 0%. Pada periode tiga bulan kedua besaran insentif hanya 50% dan terakhir 25%

Namun tidak semua jenis mobil dikenakan insentif ini. Kriteria mobil yang mendapatkan insentif tersebut adalah mobil dengan spesifikasi cc < 1.500 dengan komponen lokal mencapai 70% dan buatan Indonesia atau Completely Knock Down (CKD) serta Sedan dengan kapasitas mesin di bawah 1.500 cc.

Beberapa mobil yang masuk kategori tersebut adalah Daihatsu Ayla, Toyota Agya, Honda Brio Satya dari jenis Low Cost Green Car (LCGC), kemudian Toyota Avanza, Daihatsu Xenia, Honda Mobilio, Mitsubishi Xpander dari jenis Low Multi Purpose Vehicle (MPV) serta Daihatsu Terios, Toyota Rush, Mitsubishi Xpander Cross dari jenis Low Sport Utility Vehicle (SUV).

Insentif berupa pembebasan PPnBM ini akan menurunkan harga jual mobil sekitar 3-30%. Tentunya bergantung pada jenis dan spesifikasi mobilnya, mengingat penetapan PPnBM nilainya tidak seragam.

Selama ini untuk mobil jenis LCGC dikenakan PPnBM sebesar 3% (Oktober 2021), mini bus dengan kapasitas mesin di bawah 1500 cc dikenakan 10%, sedangkan Sedan di bawah 1.500cc terkena 30%.

Kemudian untuk jenis kedua yakni MPV, harga satu unit mobil Toyota Avanza seri 1.3E MT dengan 1329 Cc yang saat ini memiliki banderol Rp 202,7 juta. Dengan insentif PPnBM 10% maka diskon harganya sebesar Rp 20,27 juta. Dengan begitu konsumen hanya perlu membayar Rp 182,43 juta.

Sementara untuk jenis sedan misalnya Toyota New Vios dengan kapasitas cc 1.496. Apabila harga satu unitnya mencapai Rp 312 juta, setelah insentif PPnBM harganya turun menjadi Rp 218,4 juta per unit.

Kalau dilihat-lihat harganya memang menjadi lebih murah. Namun seberapa besar insentif PPnBM ini terhadap kenaikan permintaan mobil?

Apabila mengacu pada data GAIKINDO tahun 2020, pangsa pasar mobil yang terkena skema insentif PPnBM mencapai 62,7% dari total penjualan ritel atau sebanyak 362.884 unit. Tentu saja ini pangsa pasar yang besar. Namun, hal ini sangat tergantung dengan keberhasilan kebijakan PPnBM 0% dan DP 0%.

Insentif PPnBM memang menjadi salah satu opsi untuk menstimulasi permintaan kendaraan roda empat. Maklum kurang lebih 40-45% dari harga mobil on the road (OTR) masuk ke kantong negara dengan rincian 10% untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN), PPnBM 10-125%, Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) 2% dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) sebesar 12,5%.

Hanya saja tingkat efektivitas kebijakan fiskal ini akan sangat tergantung pada faktor lain. Sebagai barang mewah, pembelian mobil tidak dilakukan secara cash, melainkan kredit. Oleh karena itu tingkat suku bunga kredit kendaraan bermotor juga akan sangat berpengaruh.

Bank Indonesia (BI) selaku bank sentral sudah memangkas suku bunga acuan sebesar 125 basis poin (bps). Suku bunga kredit bank pun berangsur turun. Namun penurunannya belum se-agresif suku bunga acuan karena ada periode (lag time) transmisi kebijakan moneter.

 

Di sisi lain pembelian mobil juga mewajibkan konsumen membayar biaya di muka atau down payment (DP). Nilai atau besaran DP mobil pun beragam tergantung jenisnya. Misal untuk DP mobil Avanza harganya dipatok di Rp 202 juta per unit.

Untuk membeli mobil tersebut melalui kredit maka konsumen harus membayar DP di kisaran Rp 40 juta atau setara dengan 20% dari harga OTR mobil. Apabila konsumen memilih tenor paling panjang yaitu 5 tahun (60 bulan) maka cicilan per bulannya mencapai Rp 3,85 juta.

Hanya saja untuk pembayaran pertama selain DP juga dikenakan booking fee. Sehingga secara total, konsumen harus membayar Rp 64,9 juta (DP, booking fee, cicilan pertama dan asuransi).

Menggunakan simulasi tersebut maka harga mobil yang diperoleh konsumen secara total mencapai Rp 292 juta per unit (setelah melunasi 5 tahun) atau 45% dari harga OTR cash. Tentu saja ini merupakan perhitungan kasar tanpa mempertimbangkan faktor seperti inflasi.

Pemerintah juga membuat manuver lain untuk menyelamatkan sektor otomotif Tanah Air. Menteri Koordinator Airlangga Hartarto menyampaikan usulan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar DP bisa nol persen.

Bayangkan saja jika DP nol persen dikenakan untuk pembelian mobil baru, maka harga jualnya semakin terdiskon sampai 30% setelah dipotong dengan insentif dari PPnBM. Namun DP nol persen juga perlu dipertimbangkan secara cermat aspek prudensialnya.

Well, pada akhirnya apakah kebijakan ini akan efektif mendongkrak permintaan sangat tergantung pada keterjangkauan harga mobil baru itu sendiri. Keterjangkauan ini tentu sangat sensitif terhadap kenaikan upah atau pendapatan, inflasi serta bunga yang dikenakan.

Ketika terjadi kenaikan suku bunga kredit akibat naiknya suku bunga acuan di tahun 2018 dan 2019, penjualan mobil baik wholesales maupun ritel mengalami penurunan.

Insentif PPnBM memang harus didukung oleh skema tambahan, tapi aspek kehati-hatian sangat penting, jangan sampai menutup masalah di sektor riil dengan membangkitkan masalah baru di sektor keuangan.

Pada akhirnya bila diterapkan dengan kehati-hatian maka yang diuntungkan bukan hanya para produsen mobil tapi juga konsumen, bahkan pemerintah karena ekonomi bisa lebih bergeliat dan sektor ketanagakerjaan bisa dijaga di tengah pandemi.

Sebelum insentif ini turun, lembaga pemeringkat global yaitu Fitch memperkirakan penjualan mobil masih akan seret tahun ini. Kendati ada potensi kenaikan volume penjualan, tetapi belum akan pulih seperti kondisi pra-pandemi.

Fitch memperkirakan penjualan domestik kendaraan roda empat pada 2021 tetap 30% sampai 40% lebih rendah dari pada 2019 atau kurang dari 700.000 unit. Namun, hal ini sangat tergantung dengan keberhasilan kebijakan PPnBM 0% dan DP 0%.