PROYEKSI PENERIMAAN PAJAK 2022 Realisasi Setoran Tembus 120%

23 December 2022

Tegar Arief
Jum’at, 23/12/2022

Bisnis, JAKARTA — Penerimaan pajak sepanjang tahun ini diprediksi mencapai 120% dari target yang ditetapkan pemerintah menyusul performa sepanjang tahun berjalan yang cukup prima. Kondisi ini pun akan bermuara pda tertekannya tingkat defisit di bawah batas maksimal.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, penerimaan pajak per 14 Desember 2022 mencapai Rp1.634,36 triliun, tumbuh sebesar 41,93% (year-on-year/YoY).

Capaian itu setara dengan 110,06% dari target yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 98/2022 tentang Perubahan atas Perpres No. 104/2021 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2022 senilai Rp1.485 triliun.

Tak hanya itu, otoritas fiskal juga berhasil melampaui target yang tertuang di dalam outlook penerimaan pajak pada tahun ketiga pandemi Covid-19, yakni senilai Rp1.608,1 triliun.

Peneliti Perpajakan Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar, memproyeksikan penerimaan pajak pada tahun ini dalam kisaran Rp1.823,6 triliun atau 122,80% dari target penerimaan Perpres No. 98/2022.

Dia menambahkan, pertumbuhan penerimaan pajak pada tahun ini diperkirakan mencapai 42,64%, menjadi yang tertinggi dalam dua dekade terakhir.

Adapun, tambahan penerimaan pajak pada dua pekan terakhir tahun ini diprediksi Rp215,45 triliun.

“Tentunya angka riil penerimaan pajak tahun ini akan bergantung pada besaran restitusi dalam beberapa minggu terakhir,” kata dia, Kamis (22/12).

Menurutnya, ada beberapa faktor yang menyebabkan perbaikan kinerja penerimaan pajak pada tahun ini.

Pertama, pemulihan ekonomi yang kuat tecermin dari data pertumbuhan sebesar 5,72% pada kuartal III/2022 (YoY).

Kedua, implementasi UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang menjadi katalis positif, di antaranya melalui Program Pengungkapan Sukarela (PPS) dan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 11%.

Ketiga, kenaikan harga komoditas yang juga menjadi pendorong utama bahkan sejak pengujung tahun lalu. Dengan demikian, untuk 2 tahun berturut-turut penerimaan pajak menembus target.

Sejalan dengan itu, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada tahun ini diestimasi lebih rendah dibandingkan dengan target Perpres No. 98/2022 maupun outlook pemerintah.

Sekadar informasi, target defisit dalam Perpres No. 98/2022 sebesar 4,5% terhadap produk domestik bruto, sedangkan outlook pemerintah di kisaran 2,4% terhadap PDB.

Dalam kaitan ini, Fajry memprediksi defisit anggaran sebesar 1,72% terhadap PDB kecuali pemerintah melakukan efisiensi alias pemangkasan belanja pada sisa tahun ini.

“Dari sisi belanja negara, kami asumsikan sesuai target Perpres No. 98/2022, realisasi defisit anggaran berkisar 1,72% terhadap PDB,” ujarnya.

UU HPP memang menjadi cangkul yang mampu menggali potensi pajak pada tahun ini, terutama dari sisi Pajak Penghasilan (PPh) yang bersumber dari setoran peserta PPS alias Tax Amnesty Jilid II.

Pasalnya, melalui program tersebut peserta diwajibkan untuk menyetorkan pajak dengan tarif khusus kepada negara. Tarif pajak pun makin besar apabila peserta tidak bersedia untuk merepatriasi dan menginvestasikan asetnya di dalam negeri.

Direktur Eksekutif Pratama Kreston Tax Research Institue Prianto Budi Saptono, menambahkan selain PPS harga komoditas yang terus melambung juga memberikan windfall kepada pemerintah.

Terlebih, perang antara Rusia-Ukraina yang masih terus memanas sehingga Indonesia selaku negara penghasil minyak pun amat diuntungkan, kendati di sisi lain harus menyiapkan bantalan tebal untuk subsidi dan kompensasi.

“Tahun ini ada PPS dan komoditas jadi wajar tinggi. Persoalannya tahun depan yang penuh tantangan,” katanya.

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet, menghitung dengan asumsi penerimaan pajak Rp1.580 triliun, setoran bea dan cukai Rp299 triliun, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) PNBP Rp481 triliun, total penerimaan negara akan mencapai Rp2.360 triliun.

Sementara itu, dengan asumsi belanja terealisasikan penuh sebesar Rp3.106 triliun, maka realisasi defisit anggaran setahun penuh akan berada di kisaran 4% terhadap PDB.

Adapun, jika asumsi realisasi belanja hanya terserap 95% dari pagu, realisasi defisit berada di kisaran 3,18% terhadap PDB.

Yusuf memandang, penerimaan negara yang cukup moncer ini akan meningkatkan keleluasaan untuk memacu belanja pada sisa tahun ini, dan menguatkan fondasi menuju jalur konsolidasi pada tahun depan yang mewajibkan defisit di bawah 3% terhadap PDB.

“Defisit fiskal pada tahun ini berpotensi besar akan lebih rendah dari target,” katanya.

KONSUMSI

Di tengah apiknya kinerja pajak secara umum, performa pungutan atas konsumsi masyarakat terbilang masih cukup tertatih.

Hal itu terefleksi dari setoran PPN dan PPnBM yang belum menembus target yang ditetapkan dalam Perpres No. 98/2022. (Lihat infografik).

Tak bisa dimungkiri, dua kebijakan populis, yakni kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% per 1 April 2022 dan penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang dieksekusi pada 3 September 2022 menjadi penghambat akselerasi pajak konsumsi.

Kenaikan tarif PPN, meskipun telah mengakomodasi fasilitas pembebasan atau pengecualian, tetap menjadi batu sandungan bagi otoritas fiskal dalam melangkah menuju target pajak.

Tarif yang naik tentu akan dibebankan kepada konsumen atau masyarakat, sementara sisa-sisa kesengsaraan akibat pandemi Covid-19 masih belum sepenuhnya usai. Alhasil, daya beli pun masih tertatif.

Belum lagi, kenaikan harga BBM yang secara otomatis mengatrol pergerakan seluruh harga barang dan tarif jasa. Bantalan sosial (bansos) pun tak cukup membantu penguatan daya beli.

Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira, mengatakan potensi pencapaian target penerimaan PPN pada tahun ini masih amat terbuka. Hanya saja, tembusnya angka sasaran itu tidak secepat jenis pajak lain.

“Betul, apalagi PPh Migas juga duntungkan karena adanya windfall,” kata dia.

Pada saat bersamaan, pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal III/2022 terpantau melandai, yakni hanya tumbuh 5,39%, lebih rendah dibandingkan dengan kuartal II/2022 yang mencapai 5,51%.

Kontribusinya pada PDB pun kian tergerus, yakni dari 53,65% pada kuartal I/2022, menjadi 51,47% pada kuartal II/2022, dan 50,38% pada kuartal III/2022.

Apabila dicermati, kondisi penerimaan pajak dan tingkat konsumsi rumah tangga dewasa ini mencerminkan bahwa daya beli masih butuh proteksi dari pemangku kebijakan.

Apalagi soal PPN, yang menjadi gambaran riil daya beli masyarakat, karena pajak yang diterima oleh pemerintah ini bersumber dari transaksi barang dan jasa yang tidak mendapatkan fasilitas pembebasan atau pengecualian.

“Memang ada faktor kenaikan tarif dan kenaikan harga BBM,” ujar Bhima.

Editor : Tegar Arief