REALISASI APBN 2022 Setoran Pajak Tembus Capaian 2021

27 October 2022

Tegar Arief & Wibi Pangestu Pratama
Kamis, 27/10/2022

Bisnis, JAKARTA — Performa pajak hingga kuartal III/2022 berhasil melampaui realisasi sepanjang tahun lalu sehingga memperbesar kans pemerintah untuk kembali mencatatkan rekor pada tahun ini.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan pajak sepanjang tahun berjalan 2022 yang berakhir September mencapai Rp1.310,5 triliun.

Sepanjang tahun lalu, setoran pajak yang berhasil masuk ke dalam kantong negara tercatat senilai Rp1.277,53 triliun.

Pencapaian per kuartal III/2022 itu setara dengan 88,25% dari target pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 Perubahan sebagaimana dilegalisasi melalui Perpres No. 98/2022 yakni senilai Rp1.484,96 triliun.

Artinya, pemerintah hanya harus memungut Rp174,46 triliun agar mampu mencapai target itu. Sementara itu, outlook penerimaan pajak pada tahun ini disasar senilai Rp1.608,1 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan kinerja pajak pada tahun ini memang cukup prima, yang disokong oleh tingginya harga komoditas serta terpacunya roda ekonomi nasional.

“Beberapa KPP juga telah melaporkan telah mencapai 100% ,” jelasnya saat menerima kunjungan redaksi Bisnis, Selasa (25/10).

Hingga 20 Oktober 2022, terdapat 6 Kantor Wilayah (Kanwil) Ditjen Pajak dan 92 KPP yang berhasil menembus target penerimaan yang tertuang di dalam Perpres No. 98/2022.

Secara nasional, mayoritas jenis pajak juga berhasil mencatatkan pertumbuhan baik Pajak Penghasilan (PPh) migas maupun nonmigas. (Lihat infografik).

Akan tetapi, pemerintah masih dihadapkan pada seretnya setoran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) alias pajak atas konsumsi yang memotret daya beli masyarakat.

Per September lalu, realisasi PPN dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) terpantau Rp504,45 triliun, sementara sepanjang tahun lalu senilai Rp550,97 triliun.

Kondisi ini tak lepas dari besarnya dampak inflasi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang kemudian memiliki daya rambat amat luas terhadap seluruh pergerakan harga barang dan tarif jasa.

Impaknya, konsumsi masyarakat sepanjang tahun ini pun jauh lebih gontai dibandingkan dengan tahun lalu.

Perihal PPN, Sri Mulyani menegaskan bahwa pajak adalah salah satu instrumen APBN untuk mengelola ekonomi.

Artinya, tujuan pemerintah mengelola anggaran adalah untuk mengakselerasi laju ekonomi, bukan pada menargetkan kinerja penerimaan pajak.

“Kita tidak hanya menjaga level penerimaan. Jangan terbalik, pajak adalah tujuan, melainakn ekonomi menjadi tujuan,” tegasnya.

INSENTIF

Sementara itu, dalam rangka mendorong setoran PPN lebih tinggi, kalangan ekonom menyarankan kepada pemerintah untuk mulai mengerem sejumlah insentif yang bertujuan merangsang daya beli.

Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah, menyarankan agar otoritas fiskal mengevaluasi stimulus dalam bentuk PPN DTP untuk sektor properti.

Menurutnya, penghentian insentif ini tidak akan menurunkan konsumsi. Sebab, optimisme konsumen telah terdongkrak oleh meredanya dampak pandemi Covid-19 dan pelonggaran mobilitas masyarakat.

“Itu sewajarnya dicabut sehingga bisa meningkatkan kembali penerimaan pemerintah dari PPN,” ujarnya.

Ekonom Institute of Development on Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menambahkan perlu ada instrumen tambahan pengompensasi kenaikan harga BBM guna menjaga stabilitas konsumsi.

Di antaranya adalah dengan menaikkan upah yan linier dengan ekspektasi inflasi, menambah bantuan langsung tunai, melakukan operasi pasar, serta menebalkan subsidi. “Karena kenaikan harga BBM akan berdampak pada kenaikan harga barang lainnya karena harga BBM naik artinya biaya transportation naik,” jelasnya. ^(Ni Luh Anggela)

Editor : Tegar Arief