REALISASI PPS 2022, Investasi Fisik Minim Daya Tarik

05 July 2022

BisnisIndonesia, Selasa, 05/07/2022 02:00 WIB

Bisnis, JAKARTA — Investasi fisik yang disediakan pemerintah untuk menampung dana hasil deklarasi harta dalam Program Pengungkapan Sukarela tak cukup mampu menarik minat peserta pengampunan pajak itu untuk memarkir dananya di dalam negeri.n

Ada beberapa faktor yang mendorong peserta pengampunan pajak tidak menginvestasikan dananya pada proyek fisik selama holding period.

Pertama, terbatasnya opsi instrumen investasi dalam Program Pengungkapan Sukarela yang berakhir 30 Juni lalu.

Sebab, pemerintah hanya memberikan izin investasi untuk penghiliran sumber daya alam (SDA) atau energi baru terbarukan (EBT).

Kedua, isu perizinan masih menjadi kendala bagi pengusaha untuk menggenjot dan merealisasikan investasi.

Terlebih, sistem online single submission (OSS) belum berjalan dengan baik karena belum sinkronnya kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah.

Ketiga, pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang mendekati Pemilihan Umum (Pemilu) sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi calon pemodal yang berasal dari peserta pengampunan pajak.

Gagalnya daya tarik investasi fisik dalam PPS juga tecermin dari data Kementerian Keuangan, yang mencatat nilai investasi dalam PPS hanya Rp22,34 triliun dari total harta bersih yang dilaporkan senilai Rp594,82 triliun.

Adapun, mayoritas tempat parkir dana hasil deklarasi itu adalah Surat Berharga Negara (SBN), baik yang berbentuk Surat Utang Negara (SUN) maupun Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).

“Ada faktor keamanan juga . Pengusaha takut kalau tidak aman,” kata Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Suryadi Sasmita, Senin (4/7).

Dia menambahkan, berbagai faktor di atas memengaruhi iklim investasi secara keseluruhan, tak terkecuali terhadap realisasi investasi dalam program pengampunan pajak.

Menurutnya, realisasi investasi PPS akan melesat jika ketidakpastian makin berkurang. Di antaranya adalah kegaduhan politik akibat persiapan Pemilu, penanganan pandemi Covid-19, hingga ketidakpastian global.

Esensi dari program pengungkapan memang cukup positif. Selain berpotensi mengerek penerimaan negara, kebijakan ini juga diyakini bakal meningkatkan kepatuhan wajib pajak.

Akan tetapi, momentum dari implementasi program ini menurut kalangan pelaku usaha tidak tepat lantaran pebisnis masih terpuruk akibat macetnya roda ekonomi sejak pandemi Covid-19.

Kondisi ini juga menjadi pertimbangan bagi pelaku usaha sehingga hanya melakukan deklarasi namun tidak menginvestasikan dananya pada masa holding period yang ditentukan selama 5 tahun.

Ketua Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Anggawira mengatakan minat pelaku usaha sebagai wajib pajak yang menjadi sasaran utama program ini memang cukup rendah, termasuk dalam hal menempatkan dananya pada SBN.

Musababnya, selain opsi investasi penampung selama holding period yang terbatas, tarif yang dikenakan oleh pemerintah juga terlampau tinggi. Ketentuan ini kemudian mereduksi antusias pelaku usaha dalam PPS.

“Terlalu berat. Kami berharap pada periode mendatang masih ada program serupa, tepatnya setelah ekonomi kembali normal,” katanya kepada Bisnis.

Sejatinya, investasi fisik yang disediakan oleh pemerintah aat beragam, yakni mencapai 332 kegiatan usaha sebagaimana termuat di dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No. 52/KMK.010/2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak.

PERLUASAN

Pemangku kebijakan pun melakukan perluasan dengan membuka kesempatan investasi di luar sektor penghiliran SDA atau EBT.

Di antaranya adalah pengembangan video gim, pengembangan aplikasi perdagangan melalui internet, pemrograman dan produksi konten media imersif, pengembangan teknologi chain, hingga portal web.

Akan tetapi faktanya, perluasan sektor tersebut juga tak cukup mampu menjadi magnet bagi peserta PPS untuk memarkir hartanya di Tanah Air, setidaknya selama 5 tahun.

Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto menjelaskan, kendati telah melakukan perluasan, pilihan instrumen investasi untuk peserta PPS terbilang masih terbatas.

Apalagi beberapa sektor usaha yang disediakan lebih mengarah ke perkembangan teknologi yang kurang mendapat minat bagi pelaku usaha peserta PPS.

Menurutnya, dalam rangka mengakselerasi minat investasi dalam PPS, pemerintah masih memiliki kesempatan untuk mengubah atau memperluas instrumen investasi harta.

“Tujuannya adalah agar calon peserta PPS memiliki alternatif yang lebih luas,” ujarnya.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor mengatakan, otoritas pajak masih mengumpulkan realisasi investasi fisik dari peserta PPS.

“Kami masih menunggu laporan realisasi dari masing-masing peserta PPS,” ujarnya.

Ketika PPS berakhir, realisasi investasi dari para pesertanya tercatat senilai Rp22,3 triliun. Jumlah itu hanya 3,4 persen dari nilai harta bersih yang dilaporkan senilai Rp594,8 triliun.

Lebih rinci, investasi atas harta dalam negeri hanya Rp19,98 triliun atau 3,8 persen dari pengungkapan harta di Indonesia senilai Rp512,5 triliun. Lalu, investasi atas harta luar negeri yang direpatriasi hanya Rp2,36 triliun.

Peserta PPS cenderung lebih memilih untuk hanya mendeklarasikan harta dan tidak menginvestasikannya, meskipun terdapat tarif pajak yang lebih rendah saat berinvestasi.

Artinya, mereka lebih bersedia membayar pajak tinggi daripada menginvestasikan dananya melalui PPS.

Sementara itu, peserta PPS masih memiliki waktu yang cukup untuk melakukan repatriasi maupun menginvestasikan harta yang diungkap selama program berlangsung.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan batas akhir investasi harta dalam PPS akan jatuh pada 30 September 2023, sehingga peserta masih memiliki waktu untuk melaksanakan penempatan dana itu.

Menkeu menambahkan, 67% dari total deklarasi harta PPS berasal dari peserta Kebijakan I, yakni wajib pajak mantan peserta program Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty 2016.