Reformasi pajak belum membuktikan perbaikan tax ratio

13 November 2019

Kontan, Rabu, 13 November 2019 / 18:57 WIB

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pada akhir tahun 2016, pemerintah membentuk tim reformasi pajak melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK- 885/KMK.03/2016 tentang Pembentukan Tim Reformasi Perpajakan.

Maksud dan tujuan pembentukan Tim Reformasi adalah untuk mempersiapkan dan mendukung pelaksanaan reformasi pajak yang mencakup aspek organisasi dan Sumber Daya Manusia (SDM), teknologi informasi, basis data dan proses bisnis, serta peraturan perundang-undangan.

Reformasi atas aspek-aspek tersebut dilakukan guna meningkatkan kepercayaan wajib pajak Wajib Pajak (WP) terhadap institusi pajak, kepatuhan wajib pajak, keandalan pengelolaan basis data/administrasi pajak dan integritas, serta produktivitas aparat pajak.

Reformasi pajak tersebut diharapkan dapat menciptakan tiga kondisi. Pertama institusi pajak yang kuat, kredibel dan akuntabel yang mempunyai proses bisnis yang efektif dan efisien untuk menghasilkan penerimaan negara yang optimal.

Kedua, sinergi yang optimal antarlembaga. Ketiga, kepatuhan wajib pajak yang tinggi. Ketiganya diharapkan dapat memperbaiki kinerja tax ratio hingga sebesar 15% pada tahun 2020.

Namun demikian, realisasi tax ratio pada tahun 2018 saja masih di level 11,4%. Proyeksi tax ratio di akhir tahun ini pun diprediksi melempem di level 11,1%. Sementara, tahun 2020 diperkirakan hanya 11,5%.

Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (PKAPBN)Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Ubaidi Socheh Hamidi mengatakan pada komponenen tax ratio yang meliputi penerimaan pajak pusat, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Minyak dan Gas, dan PNBP Pertambangan Umum sedang dalam tren menurun di tahun ini.

Ubaidi menyampaikan setidaknya ada dua sentimen yang mempengaruhi tax ratio. Pertama tren harga komoditas seperti batubara, crude palm oil (CPO), serta minyak dan gas yang melemah akibat pelemahan ekonomi global. Sehingga kinerja penerimaan pajak utamanya pajak korporasi di sektor komoditas menyusut.

Kedua, adanya kebijakan ketentuan percepatan restitusi yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 39/PMK.03/2018 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak. Kemudian, pemerintah di tahun ini memberikan ruang bagi industri farmasi untuk mendapatkan fasilitas percepatan restitusi pajak lewat PMK Nomor 117/PMK.03/2019 tentang Perubahan atas PMK 39/2018.

“Harga komoditas yang melemah serta kebijakan pencepatan restitusi pajak, itu akhirnya pajak tidak mencapai target, ditambah impor juga naik itu mempengaruhi tax ratio,” kata Ubaidi kepada Kontan.co.id, Rabu (13/11).

Sebagi kontributor terbesar tax ratio, penerimaan pajak sampai akhir Oktober 2019 masih jauh dari target. Berdasarkan data Kemenkeu, penerimaan pajak Januari-Oktober 2019 sekitar Rp 1.000 triliun. Angka tersebut baru 65,38% dari target akhir tahun sebesar Rp 1.577,56 triliun.

Namun, Ubaidi masih optimistis pencapaian tax ratio di tahun 2019 dan 2020 masih sesuai perkiraan pemerintah meski segenap sentimen menghantui penerimaan negara.

Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam mengatakan pemerintah mengatur strategi untuk menjaga tax ratio. Menurutnya jurus untuk meningkatkan tax ratio bisa melalui dua area besar.

Pertama, mengurangi compliance gap atau potensi yang belum tergali akibat kelemahan administrasi. Kedua, mengurangi policy gap atau potensi yang belum tergali akibat keterbatasan kebijakan.

“Sebetulnya sesuai dengan pilar reformasi pajak, jika kelimanya dijalankan secara konsisten, target tersebut bukan sesuatu yang mustahil bisa tercapai,” kata Darussalam kepada Kontan.co.id, Rabu (13/11).

Darussalam menegaskan yang perlu digarisbawahi adalah keberhasilan reformasi pajak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, interaksi antar pemangku kepentingan, dan dorongan politik.

Dari sisi lingkungan, upaya mendorong tax ratio menghadapi tantangan adanya tekanan ekonomi global dan domestik. Artinya, tekanan ekonomi justru membutuhkan relaksasi pajak.

Dari sisi interaksi antarpemangku kepentingan, dalam iklim demokrasi yang lebih baik, reformasi pajak harus dijalankan dengan hati-hati dan penuh pertimbangan, serta harus mampu menyeimbangkan seluruh kepentingan. Pemangku kepentingan sektor pajak juga semakin beragam dan memiliki daya tawar yang semakin kuat.

Dari sisi dorongan politik, adanya pemilu di 2019 ini tidak bisa dipungkiri membuat dorongan reformasi pajak sedikit terhenti. Dengan konsolidasi politik yang semakin kuat, Darussalam menilai harusnya reformasi bisa lebih baik.

Darussalam bilang tax ratio  tahun ini agaknya akan jauh lebih rendah dari proyeksi 2019 yang sebesar 11,1%. Hal ini mengingat lemahnya pertumbuhan penerimaan pajak selama 2019.