RENCANA KENAIKAN PPN, Inkonsistensi Skema Pajak Konsumsi

06 May 2021

BisnisIndonesia, Kamis, 06/05/2021 02:00 WIB
Bisnis, JAKARTA — Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai pada tahun depan mencerminkan
inkonsistensi pemerintah dalam mengatur skema pajak konsumsi. Sebab sebelumnya otoritas fiskal
memilih opsi perluasan basis pajak untuk meningkatkan penerimaan dari sektor ini.n
Berdasarkan Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2020—2024, diusulkan Rancangan Undangundang (RUU) tentang Pajak atas Barang dan Jasa.
Rencananya, RUU ini akan menggantikan konsep Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang selama ini berlaku.
Adapun urgensi pembentukan RUU Pajak atas Barang dan Jasa itu adalah meningkatkan kepatuhan PPN
di Indonesia serta memperluas tax base sehingga dapat meningkatkan penerimaan dari PPN.
“Dengan tax base PPN yang makin luas, potensi penerimaan pajak akan makin meningkat, sehingga
kebutuhan belanja APBN dapat lebih dipenuhi dari penerimaan pajak,” tulis Rencana Strategis
Kementerian Keuangan 2020—2024 yang dikutip Bisnis, (5/5).
Perluasan tax base pengenaan pajak konsumsi tersebut dilakukan melalui penataan ulang perlakuan
pajak atas barang dan jasa yang lebih membatasi pemberian fasilitas dan pengaturan ulang batasan
pengusaha kena pajak.
Alih-alih merealisasikan rencana strategis tersebut, pemerintah justru berencana untuk menaikkan tarif
PPN pada 2022. Kenaikan ini merupakan bagian dari reformasi fiskal di bidang perpajakan untuk
mendukung konsolidasi fiskal yang ditargetkan pada 2023.
Faktanya, menaikkan PPN memiliki konsekuensi yang sangat besar, yakni makin tergerusnya konsumsi
masyarakat yang selama ini menopang pertumbuhan ekonomi nasional. (Bisnis, 5/5).
Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI) Prianto Budi Saptono mengatakan
memperluas basis pajak menjadi opsi terbaik yang bisa dipilih oleh pemerintah ketimbang menaikkan
tarif PPN yang memiliki risiko besar.
“Lebih tepat jika basis pajak diperluas sehingga nonobjek pajak akan makin kecil. Menaikkan tarif akan
membuat distorsi pajak lebih besar dan pasti perilaku wajib pajak akan terpengaruh,” kata dia.
Prianto menambahkan, pemerintah sebenarnya telah memiliki cakupan yang sangat luas terkait dengan
pengenaan PPN. Selain barang konsumsi, pajak jenis ini juga dikenakan untuk penjualan atas barang
mewah (PPnBM), pajak hotel, hingga pajak restoran.
Di sisi lain, perluasan basis pajak menurutnya juga bisa dilakukan melalui impleentasi UU No. 2/2020
terutama yang terkait dengan pajak transaksi elektronik (PTE).“PTE ini juga merupakan bentuk perluasan dari pajak konsumsi, tetapi belum diimplementasikan secara
penuh,” kata dia.
Senada, Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute Wahyu Nuryanto menyayangkan sikap
pemerintah yang lebih memiliki menaikkan tarif dibandingkan dengan memperluas basis pajak.
Sebab, konsekuensi dari kenaikan tarif ini cukup signifikan bagi perekonomian nasional. Dampak dari
kebijakan ini terhadap penggerusan ekonomi pun akan terasa dalam waktu singkat.
“Makanya yang lebih baik adalah meningkatkan basis pajak, bukan menaikkan tarif PPN,” kata dia.
Sementara itu, pembahasan RUU tentang Pajak atas Barang dan Jasa sejauh ini masih belum
mengemuka. Pemerintah pun tidak mencantumkan target penyelesaian pembahasan atas RUU ini.
Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama juga tidak
memberikan jawaban saat dihubungi Bisnis terkait dengan progres dari penyusunan regulasi ini