SENGKETA DAN BANDING PERPAJAKAN Kualitas Pemeriksaan Pajak Lemah

31 March 2023

Dionisio Damara & Tegar Arief
Rabu, 29/03/2023

Bisnis, JAKARTA — Buruknya kualitas pemeriksaan pajak menyebabkan rendahnya tingkat kemenangan otoritas pajak dalam sengketa atau banding di pengadilan pajak sepanjang tahun lalu. Perbaikan skema pemeriksaan dan optimalisasi pengolahan Surat Pemberitahuan Tahunan pun amat mendesak.

Berdasarkan Laporan Kinerja Ditjen Pajak Kementerian Keuangan 2022, tingkat kemenangan otoritas pajak pada tahun lalu hanya berada di angka 44,8%.

Secara terperinci, kemenangan Ditjen Pajak di tingkat banding juga lebih buruk yakni hanya 38,05%, sementara tingkat kemenangan di level gugatan lebih baik yakni sebesar 73,9%.

Otoritas pajak pun menyadari betul kondisi kurang menggembirakan ini, yang menggambarkan bahwa aspek pemeriksaan masih memiliki kualitas yang lemah sehingga pemerintah pun sering kalah dalam proses di pengadilan.

Dalam laporan kinerja tersebut, Ditjen Pajak mengakui masih perlu untuk dilakukan perbaikan kualitas koreksi pemeriksaan, serta optimalisasi pengolahan Surat Pemberitahuan atau SPT agar tidak berdampak negatif terhadap sengketa formal.

“Diperlukan juga dukungan data-data/dokumen dari KPP yang lebih intens,” tulis Ditjen Pajak dalam laporan otoritas pajak yang dikutip Bisnis, Selasa (28/3).

Adapun, langkah-langkah yang telah diambil untuk mengatasi kondisi tersebut antara lain menyempurnakan regulasi yang tidak harmonis dan multitafsir, melakukan pengawasan dan evaluasi kinerja, hingga meningkatkan kompetensi sumber daya manusia (SDM).

Selain itu juga melakukan pengawasan dan evaluasi atas putusan banding, meningkatkan kapasitas kemampuan beracara para petugas sidang, dan melakukan pengawasan perkembangan sidang sengketa perpajakan secara rutin untuk mengetahui perkembangan sengketa di Pengadilan Pajak.

Tak bisa dimungkiri, pemeriksaan menjadi kunci utama dari tingkat kemenangan Ditjen Pajak di pengadilan hingga optimalisasi penerimaan negara. Termasuk di dalamnya adalah menguji kepatuhan wajib pajak, baik orang pribadi maupun badan.

Sementara itu, berdasarkan data Pengadilan Pajak, jumlah sengketa terus mencatatkan kenaikan bahkan mencapai angka tertinggi pada tahun lalu. (Lihat infografik).

Meningkatnya jumlah sengketa pajak ini sejalan dengan beratnya tekanan target penerimaan di masa pandemi Covid-19, yang kemudian ditindaklanjuti oleh otoritas pajak dengan menerbitkan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK).

Secara total, Ditjen Pajak telah mengirimkan SP2DK sebanyak 9,5 juta surat yang ditujukan kepada 3,9 juta wajib pajak.

Adapun, pemeriksaan terhadap bukti permulaan atau bukper telah dilakukan kepada 1.244 wajib pajak sepanjang tahun lalu.

Sekadar informasi, pemeriksaan bukti permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti awal tentang adanya dugaan tindak pidana di bidang perpajakan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan secara total pemeriksaan bukti permulaan telah dilakukan terhadap 2.528 wajib pajak selama 2018—2022 dengan nilai Rp13,8 triliun.

“Ini adalah langkah yang dilakukan Ditjen Pajak dari sisi pengawasan dan penegakan hukum,” katanya.

Sementara itu, kalangan pemerhati pajak memandang kualitas pemeriksaan yang baik tak hanya berkontribusi pada kenaikan tingkat kemenangan Ditjen Pajak di pengadilan.

Lebih jauh, hal itu juga akan membantu optimalisasi penerimaan negara dari adanya munculnya tanggungan yang harus dibayar oleh wajib pajak.

Dalam konteks sengketa atau banding di pengadilan pajak, harmonisasi regulasi dinilai sebagai akar persoalan yang perlu segera dituntaskan.

Direktur Eksekutif Pratama Kreston Tax Research Institue Prianto Budi Saptono, mengatakan sudah selayaknya Ditjen Pajak melakukan harmonisasi regulasi. Musababnya, perbedaan tafsir menjadi dasar dari munculnya sengketa pajak di Tanah Air.

“Masalah yang sekarang ini sering muncul adalah perbedaan interpretasi peraturan pajak dan interpretasi hukum perjanjian,” katanya kepada Bisnis.

Dia menambahkan, ketika terjadi perbedaan interpretasi, posisi petugas pajak lebih superior sehingga wajib pajak pun acap kali terpojok sehingga menerima apapun hasil dari keputusan fiskus.

Hal inilah yang menggambarkan kualitas pemeriksaan memainkan peran penting dalam menjaga kepatuhan wajib pajak dan guna memberikan kepastian hukum yang lebih kuat.

PENERIMAAN

Apalagi, pemeriksaan juga berpeluang membantu penggalian penerimaan pajak. Prianto menjelaskan, ada beberapa alasan yang memotret korelasi erat antara kualitas pemeriksaan dan penerimaan.

Pertama, wajib pajak sepakat dengan koreksi yang dihasilkan oleh pemeriksa pajak sehingga bersedia membayar utang pajak yang mencakup pokok dan sanksi.

Kedua, wajib pajak tidak setuju dengan koreksi pemeriksa pajak, tetapi tidak melakukan upaya keberatan hingga banding ke pengadilan, sehingga tetap membayar pajak sesuai hasil pemeriksaan.

Ketiga, wajib Pajak tidak setuju dengan koreksi pemeriksa pajak dan mengajukan upaya keberatan hingga banding, namun tetap membayar utang pajak yang tertera di hasil pemeriksaan pajak.

Tujuannya adalah mengurangi potensi sanksi tambahan jika keberatan atau banding di pengadilan kalah.

Keempat, wajib pajak tidak sepakat dengan koreksi pemeriksa dan mengajukan upaya keberatan hingga banding tanpa membayar utang pajak yang tidak disetujui di hasil pemeriksaan pajak.

“Berdasarkan kemungkinan di atas, pemeriksaan pajak dilakukan guna menguji kepatuhan karena salah satu indikatornya adalah risiko ketidakpatuhan wajib pajak yang rendah,” katanya.

Di sisi lain, jumlah korporasi yang menjalani pemeriksaan pajak sepanjang tahun lalu meningkat. Data ini menandakan bahwa aktivitas fiskus dalam menguji kepatuhan wajib pajak makin agresif, terutama untuk korporasi.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, jumlah wajib pajak badan yang menjalani pemeriksaan pajak pada tahun lalu mencapai 32.427 perusahaan, naik sebesar 9,95% dibandingkan dengan 2021 yang sebanyak 29.491 perusahaan.

Kenaikan ini pun terbilang cukup signifikan setelah pada 2021 jumlah korporasi yang diperiksa oleh petugas pajak mencatatkan penurunan, bahkan berada di level terendah dalam 5 tahun terakhir.

Secara historis, wajib pajak badan selalu dominan dilakukan pemeriksaan dibandingkan dengan wajib pajak orang pribadi. Pada tahun lalu, jumlah pemeriksaan wajib pajak orang pribadi hanya sebanyak 11.371.

Hal ini dipicu oleh konsekuensi dari sistem pajak yang diterapkan oleh pemerintah. Dengan self assess­ment system maka wajib pajak menghitung, memperhitungkan, menyetorkan dan melaporkan pajaknya secara mandiri sendiri.

Adapun, pemeriksaan yang dilakukan oleh fiskus itu merupakan salah satu strategi ideal dalam rangka mengukur tingkat kepatuhan wajib pajak.

Editor : Tegar Arief