Setoran Pajak Seret, Tanda RI Masih Terjerat Resesi?

24 February 2021

CNBC Indonesia

 

24 February 2021

Jakarta, CNBC Indonesia – Setoran pajak menggambarkan situasi ekonomi karena pajak dibayarkan atas aktivitas ekonomi seperti transaksi atau nilai tambah. Jadi kalau setoran pajak seret bisa dikata situasi ekonomi sedang lesu.

Itulah yang sedang terjadi di Indonesia. Sampai Januari 2021, penerimaan pajak masih saja mampet.

Per akhir Januari 2021, penerimaan pajak tercatat Rp 68,5 triliun. Angka ini masih 5,6% dari target APBN 2021 dan 15,3% di bawah realisasi Januari 2020.

 

Berdasarkan jenis pajak, seluruhnya membukukan kontraksi (pertumbuhan negatif). Paling dalam dialami oleh Pajak Penghasilan (PPh) Badan yang mencapai -54,44% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY).

“Serapan tenaga kerja atau pemulihan ekonomi yang belum semuanya normal menyebabkan jumlah tenaga kerja mengalami penurunan arau jumlah pengangguran naik. Oleh karena itu PPh mengalami penurunan. Wajib Pajak Badan juga masih dalam posisi yang cukup struggle menghadapi Covid-19 di mana penjualan dan proses produksi masih dalam posisi yang bergerak untuk menuju pulih,” jelas Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, dalam jupa pers APBN Kita edisi Februari 2021.

Ya, pendemi Covid-19 atau Coronavirus Disease-2019 memang masih menjadi momok bagi perekonomian. Meski sejatinya pandemi adalah masalah kesehatan, tetapi dampak ekonominya sangat luar biasa.

Virus corona menular dengan begitu cepat. Kementerian Kesehatan mencatat, jumlah pasien positif corona di Tanah Air per 23 Februari 2021 adalah 1.298.608 orang. Bertambah 9.775 orang (0,76%) dibandingkan hari sebelumnya.

Dalam 14 hari terakhir (10-23 Februari 2021), rata-rata pasien positif bertambah 8..845 orang per hari. Lebih sedikit ketimbang rerata 14 hari sebelumnya yakni 11.602 orang per hari.

Namun, temuan kasus positif berbanding jumlah tes (positive rate) di Indonesia masih sangat tinggi yaitu di atas 20%. Artinya, satu dari lima orang yang menjalani tes corona ditemukan positif mengidap virus yang awalnya menyebar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu.

Demi menekan penyebaran virus corona, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali memperketat pembatasan sosial alias social distancing. Kali ini dengan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang berlaku mulai 11 Januari 2021. PPKM masih berlaku setidaknya hingga 8 Maret 2021.

Dalam PPKM tahap I (11-25 Januari 2021), pusat perbelanjaan hanya boleh beroperasi hingga pukul 19:00 WIB. Kemudian diperlonggar dalam PPKM tahap II (26 Januari-8 Februari 2021) menjadi maksimal pukul 20:00 dan di PPKM Mikro dilonggarkan lagi jasi maksimal pukul 21:00 WIB.

Kemudian dalam PPKM tahap I dan II, restoran hanya boleh melayani pengunjung yang makan-minum di tempat maksimal 25% dari kapasitas. Dengan PPKM Mikro, kapasitas maksimal dinaikkan menjadi 50%.

 

Lalu ada soal kehadiran karyawan perkantoran. PPKM tahap I dan II mensyaratkan karyawan yang bekerja dari rumah (work from home) setidaknya 75%. Dalam PPKM Mikro, dikurangi menjadi 50%.

Meski ada pelonggaran, pembatasan tetap pembatasan. Skala ekonomi masih belum optimal, lajunya belum dengan kecepatan penuh.

Kedatangan pengunjung di berbagai lokasi masih di bawah normal, seperti di pusat perbelanjaan ritel dan tempat rekreasi, lokasi transit, atau tempat kerja. Sementara aktivitas di rumah masih lebih tinggi ketimbang hari-hari biasa.

Situasi ini menggambarkan ekonomi belum bergerak normal, belum bekerja dalam kapasitas penuh. Warga masih banyak yang #dirumahaja baik itu karena mengikuti anjuran pemerintah atau kesadaran sendiri.

“Kelompok rumah tangga kelas menengah-atas menurun konsumsinya bukan karena pendapatannya turun tetapi mereka tidak bisa melakukan aktivitas konsumsi. Mobilitas yang mulai naik kemudian turun lagi gara-gara kenaikan kasus Covid-19 yang melonjak pada akhir tahun,” kata Sri Mulyani.

Data setoran pajak menjadi bukti baru bahwa gerak ekonomi domestik pada hingga awal 2021 masih lesu. Sebelumnya ada tiga data yang sudah memberi konfirmasi soal itu.

Pertama adalah inflasi yang lajunya semakin melambat.  Pada Januari 2021, inflasi Indonesia tercatat 0,26% secara bulanan (month-to-month/Mtm) atau 1,55 YoY. Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 0,45% MtM dan 1,68% YoY.

Bulan ini, bukan tidak mungkin inflasi semakin melambat. Dalam Survei Pemantauan Harga (SPH) hingga pekan III, Bank Indonesia (BI) memperkirakan inflasi Februari 2021 sebesar 0,07% MtM dan 1,34% YoY.

Suhariyanto, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), mengungkapkan bahwa perlambatan laju inflasi disebabkan oleh kombinasi dua faktor. Pertama adalah pasokan yang terjaga, dan kedua lemahnya permintaan. Namun sepertinya faktor kedua sangat kental terasa.

“Kalau kita lihat, memasuki 2021 ini dampak Covid-19 belum reda dan masih membayangi perekonomian berbaga negara, termasuk Indonesia. Mobilitas berkurang, roda ekonomi terhambat, dan berpengaruh ke permintaan,” kata Kecuk, sapaan akrab Suhariyanto.

Data kedua adalah Indeks Keyakinan Konsumen (IKK). Pada Januari 2021, IKK tercatat sebesar 84,9, turun dibandingkan bulan sebelumnya yang 96,5.

IKK menggunkaan angka 100 sebagai titik mula. Kalau masih di bawah 100, maka konsumen secara umum pesimistis dalam memandang perekonomian, baik saat ini maupun enam bulan yang akan datang.

“Pada Januari 2021, persepsi konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini melemah dari bulan sebelumnya, diindikasi karena diberlakukannya kebijakan PPKM di beberapa wilayah, khususnya Jawa dan Bali, yang berdampak pada kembali menurunnya aktivitas ekonomi dan terbatasnya penghasilan masyarakat. Keyakinan konsumen terhadap penghasilan saat ini melemah disebabkan penurunan penghasilan rutin (gaji/upah/honor) maupun omset usaha, yang ditengarai akibat PPKM.

“Keyakinan konsumen terhadap ketersediaan lapangan kerja pada Januari 2021 juga tercatat menurun dibandingkan bulan sebelumnya. Sejalan dengan penurunan keyakinan terhadap penghasilan dan ketersediaan lapangan kerja, keyakinan konsumen untuk melakukan pembelian barang tahan lama pada Januari 2021 juga mengalami penurunan, terutama pada jenis barang elektronik, furnitur, dan perabot rumah tangga,” jelas laporan BI.

Ketiga adalah penjualan ritel. BI melaporkan penjualan ritel yang diukur dengan Indeks Penjualan Rill (IPR) pada Desember 2020 adalah 190,1. Dibandingkan bulan sebelumnya memang naik 4,8%.

Namun perubahan secara bulanan agak kurang mencerminkan tren, karena diganggu oleh faktor musiman. Misalnya pada Desember tentu lebih baik ketimbang November karena ada momentum Hari Natal-Tahun Baru.

Oleh karena itu, biasanya yang lebih menggambarkan tren sehingga lebih konsisten adalah pertumbuhan tahunan. Nah, dalam hal ini penjualan ritel masih nyungsep dan belum kunjung bangkit.

Secara tahunan, penjualan ritel pada Desember 2020 tumbuh -19,2% YoY. Lebih parah ketimbang bulan sebelumnya yang -16,3% YoY.

Kali terakhir Indonesia membukukan pertumbuhan penjualan ritel yang positif pada November 2019. Artinya, kontraksi penjualan ritel sudah terjadi selama 13 bulan beruntun.

Apesnya, kemungkinan penderitaan itu masih berlanjut. BI memperkirakan penjualan ritel pada Januari 2021 masih negatif, hanya lebih landai di -14,2% YoY.

“Secara bulanan, IPR Januari 2021 diprakirakan menurun sebesar -1,8% sejalan dengan faktor musiman permintaan masyarakat yang menurun pasca-HBKN di tengah penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Jawa dan Bali, serta faktor musim/cuaca dan bencana alam yang terjadi di sejumlah daerah,” sebut keterangan tertulis BI.

Di tengah kelesuan aktivitas ekonomi, apakah Prouk Domestik Bruto (PDB) Ibu Pertiwi mampu tumbuh positif pada kuartal I-2021? Ingat, PDB Indonesia selalu tumbuh negatif alias terkontraksi dalam tiga kuartal terakhir. Kalau kuartal I-2021 masih minus juga, maka Indonesia belum lepas dari jerat resesi ekonomi.

“Memasuki 2021, kami memperkirakan pelemahan ekonomi Indonesia akan berlanjut. Kami memperkirakan pertumbuhan ekonomi negatif masih terjadi yaitu -1,5% pada kuartal I-2021,” sebut Anthony Kevin, Ekonom Mirae Asset, dalam risetnya.

Menurut Kevin, ekonomi Indonesia masih belum seimbang. Sisi pasokan atau produksi mulai pulih, terlihat dari aktivitas manufaktur yang terus meningkat.

Pada Januari 2021, aktivitas manufaktur yang dicerminkan oleh Purchasing Managers’ Index (PMI) berada di 52,2. Ini menjadi rekor tertinggi dalam lebih dari enam tahun.

Namun di sisi permintaan tidak seperti itu. Data inflasi, IKK, dan penjualan ritel memberi penegasan bahwa permintaan masih lemah.

Faisal Rachman, Ekonom Bank Mandiri, memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal I-2021 hanya akan sedikit membaik dibandingkan kuartal sebelumnya yang -2,19% YoY. Pertumbuhan ekonomi Indonesia sepertinya baru akan normal pada semester II-2021.

“Perbaikan akan didukung oleh stimulus fiskal, vaksinasi, dan ekspor yang terbantu oleh kenaikan harga komoditas. Sepertinya di sisi risiko ada kasus positif corona yang masih meningkat di sejumlah negara mitra dagang Indonesia sehingga mempengaruhi permintaan eksternal,” sebut Faisal dalam risetnya.

Well, masih ada waktu sebulan lagi untuk menyelesaikan kuartal I. Data ekonomi Februari pun belum keluar. Harapan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi positif belum pupus.

Namun kalau ternyata belum kunjung ada perbaikan, maka rasanya harapan itu sulit tercapai. Risiko Indonesia masih terjebak di ‘jurang’ resesi tidak bisa dikesampingkan.

TIM RISET CNBC INDONESIA