Simak, Begini Skema Pajak Karbon pada PLTU Batu Bara

22 October 2021

NEWS – Anisatul Umah, CNBC Indonesia

 

22 October 2021

Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah akan mengenakan pajak karbon sebesar Rp 30 per kilo gram (kg) karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara mulai 1 April 2022.

Salah satu yang akan dikenakan pajak karbon adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana mengatakan, sektor kelistrikan sudah bersiap terkait perihal ini. Bahkan, sebelumnya sudah melakukan uji coba pengenaan pajak karbon ini. Sebanyak 32 PLTU berpartisipasi dalam uji coba ini.

 

Dalam uji coba ini, beberapa pembangkit diajak untuk ikut serta dan dikelompokkan ke dalam tiga grup, tergantung dari teknologinya, sifatnya PLTU Mulut Tambang dan non Mulu Tambang.

“Masing-masing kelompok kita kasih cap, artinya besaran emisi yang diperbolehkan untuk pembangkit itu, itu namanya cap,” ungkapnya dalam konferensi pers yang digelar kemarin, Kamis (21/10/2021).

Rida menjelaskan, ada dua skema perdagangan karbon yang diuji coba. Pertama, skema cap and trade atau skema pembatasan emisi karbon dan perdagangan sertifikat izin emisi. Maksudnya, entitas yang mengeluarkan emisi lebih tinggi dari cap (batasan emisi yang ditentukan), maka diharuskan membeli Sertifikat Izin Emisi (SIE) dari entitas yang mengeluarkan emisi di bawah cap atau membeli Sertifikat Penurunan Emisi (SPE/carbon offset).

Skema kedua yaitu cap and tax atau pembatasan emisi dan pengenaan pajak jika emisi yang dikeluarkan melebihi batasan yang ditentukan. Maksudnya, dalam hal entitas tersebut tidak dapat membeli Sertifikat Izin Emisi (SIE) atau Sertifikat Penurunan Emisi (SPE) atas emisi di atas batasan (cap) seluruhnya, maka sisa emisi yang masih melebihi batasan (cap) tersebut akan dikenakan pajak karbon.

“Bedanya apa cap trade dan cap tax, untuk cap and tax, misal PT A punya emisi di atas cap, lalu diberi SIE/SPE dari PT C yang emisinya masih di bawah cap, tapi SIE/SPE dari PT C ini masih gak bisa penuhi semua kelebihan emisi PT A sesuai cap, dia gak bisa beli dari PLTU lain, maka kena objek pajak saat ini Rp 30 per kg,” jelasnya.

Lebih lanjut Rida menjelaskan, mengenai uji coba pajak karbon ini sifatnya masih suka rela, dan untuk membangun kesadaran turunkan emisi dan mendorong pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT). Dengan kesadaran yang meningkat, maka terdorong juga memanfaatkan co-firing dan teknologi lainnya.

“Ada teknologi CCS (Carbon Capture and Storage), yang salah bukan batu baranya, yang salah polusinya. Sepanjang batu bara dipakai dan capture dengan teknologi CCS ya gak masalah, apalagi bisa disimpan dengan secara aman kita tahu teknologi ini masih mahal saat ini,” paparnya.

Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu menjelaskan, dipilihnya PLTU batu bara sebagai sasaran pertama dalam pengenaan pajak karbon, karena untuk mengejar target kewajiban Indonesia dalam Nationally Determined Contribution (NDC) dari penerapan Paris Agreement.

Dalam Paris Agreement tersebut, Indonesia berkewajiban untuk melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca secara mandiri sebesar 29% paling lambat pada 2030 atau sebesar 41% jika dengan dukungan internasional.

“Nah itu kita bersama-sama di Paris Agreement dengan banyak negara waktu itu memberikan pledge bahwa kita (Indonesia) akan menurunkan emisi gas rumah kaca pada 2030 dan itu kita lakukan mulai dari sekarang,” ujarnya.