SKEMA PERPAJAKAN, UNTUNG RUGI EMITEN OTOMOTIF

29 July 2021

BisnisIndonesia, Asteria Desi Kartika Sari Kamis, 29/07/2021 02:00 WIB

Pemerintah beren­cana menghapus skema pengenaan pa­jak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Sebagai gantinya, pungutan atas kon­sumsi barang mewah hanya akan dikenakan pada pajak per­tambahan nilai (PPN).

PPN bisa dikatakan sebagai pajak yang dikenakan pada per­tambahan nilai karena munculnya pemakaian faktor-faktor produksi oleh pihak Peng­usaha Kena Pajak (PKP). PKP ini yang menyiapkan, meng­hasilkan, serta memper­da­gang­kan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP).

Sementara PPnBM sendiri merupakan jenis pajak yang dikenakan untuk barang-barang dalam golongan barang mewah. Biasanya PPnBM dibebankan kepada produsen atau PKP yang mengimpor atau menghasilkan barang mewah.

Adapun, klausul rencana perubahan skema pajak tersebut tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Kendati begitu, beleid tersebut masih dalam pembahasanan Kementerian Keuangan bersama Komisi XI DPR RI.

Dalam beleid Pasal 7A RUU KUP menyebutkan peme­rintah akan menerapkan mul­ti tarif PPN yakni 5% atas barang yang dibutuhkan masya­rakat dan 25% untuk barang mewah. Tarif PPN tertinggi akan mengakomodasi penge­naan barang yang merupakan objek PPnBM yang berlaku saat ini.

Implementasi perubahan skema pengenaan PPnBM atas pe­­nyerahan barang kena pajak (BKP) yang tergolong me­wah menjadi pengenaan tarif PPN yang lebih tinggi akan diberlakukan melalui dua tahapan.

Tahap pertama, pengenaan tarif PPN yang lebih tinggi akan diberlakukan bagi kelom­pok BKP yang tergolong mewah selain kendaraan ber­motor. Terhadap BKP yang tergo­long mewah berupa kenda­raan bermotor akan tetap dikenakan PPnBM.

Tahap kedua, pengenaan tarif PPN yang lebih tinggi terhadap kelompok BKP yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor. Artinya, pada tahapan ini kendaraan bermotor tak lagi dibanderol PPnBM.

Selisih penerimaan negara akibat peralihan skema pe­­nge­naan pajak terhadap ke­lompok BKP yang tergolong mewah dan yang berupa ken­daraan bermotor akan terkompensasi apabila terhadap kelompok BKP yang tergolong me­wah berupa kendaraan ber­­motor dikenakan tarif PPN 25%.

Lantas, jika skema pajak ter­­sebut diimplementasikan, akan­kan memberikan dampak yang signifikan terhadap emiten produsen kendaraan bermotor Tanah Air khususnya PT Astra International Tbk. (ASII), sebagai market leader di sektor otomotif?

Menanggapi hal tersebut, Head of Corporate Communication Astra Boy Kelana Subroto mengatakan perseroan masih belum bisa memastikan terkait dampak dari skema perubahan pajak tersebut. Sebab menurutnya, pergantian skema pajak tersebut masih dalam pembahasan.

“Kami masih menunggu kepastiannya dan mengkaji dampaknya terhadap bisnis Astra,” kata Boy saat dikon­firmasi Bisnis akhir pekan lalu.

Kendati begitu dia menyebut tren penjualan mobil nasional dan mobil ASII pada tiga bulan yakni Maret, April, dan Mei 2021 kembali normal di posisi sebelum terjadi pandemi. Menurtnya, Astra berupaya mempertahankan pangsa pasar kendaraan roda 4 sekitar 50%.

Di sisi lain, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menar­getkan penjualan mobil nasio­nal tahun ini sebesar 830.000 unit dengan tambahan sekitar 80.000 unit dari target sebe­lumnya karena insentif PPnBM.

Sedangkan untuk roda dua, Asosiasi Industri Sepeda motor Indo­nesia (AISI) menargetkan pen­jualan motor nasional tahun ini berkisar antara 4-4,3 juta unit.

“Semoga penjualan otomotif dapat terus membaik agar dapat mendukung pemulihan eko­nomi nasional,” papar Boy.

PELUANG ASTRA

Head of Equity Trading MNC Sekuritas Medan Frankie Wijoyo Prasetio mengatakan pemerintah meyakini perubahan PPnBM menjadi PPN akan sejajar pertambahan persentase peningkatan tarif PPN.

Menurutnya, dengan kebi­jakan tersebut, pemerintah dapat mencegah upaya peng­hindaran pajak melalui kele­mahan PPnBM. Untuk otomotif nantinya akan dikenakan PPN tarif tertinggi yaitu 25%.

Sektor otomotif, lanjutnya, saat ini tengah berjuang untuk bangkit kembali setelah menorehkan kinerja yang terkoreksi. Apalagi, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan relaksasi pajak PPnBM tahun ini untuk mengenjot pertumbuhan daya beli.

Kendati begitu, menurutnya yang perlu diingat bahwa relaksasi PPnBM juga memiliki tenggat waktu dan akan kembali pada nilai yang wajar.

“Jadi, perlu diingat bahwa relaksai PPnBM pun nantinya bakal memiliki tegang waktu, dan akan kembali ke nilai wajarnya,” katanya.

Dia melanjutkan, efeknya untuk emiten otomotif seperti ASII, kebijakan relaksasi PPnBM tahun ini memang mendongkrak kinerjanya di semester pertama. Namun, menurutnya hal tersebut hanya bersifat sementara sampai diproyeksikan tahun depan ekonomi akan kembali pulih.

“Jikalau pun tarif PPnBM akan kembali normal ataupun nantinya akan digantikan menjadi PPN seharusnya tidak terlalu mengurangi daya beli masyarakat. Terutama jika Covid-19 sudah mulai terken­dali setidaknya semester kedua tahun ini. Hal ini turut men­jadi sentimen baik bagi ASII,” jelasnya jelasnya kepada Bisnis.

Dari sisi saham, Frankie me­nilai saham ASII masih menarik dengan PBV saat ini 1,24x, dimana walau kinerjanya turun sebagai imbas dari tahun pan­demi, ASII masih bisa men­­ce­tak profit dengan ROE dua digit.

“Tahun 2020 memang hanya 10%, namun jika untuk tahun depan kinerjanya kembali pulih bisa jadi ROE-nya kembali ke level normal antara 14-15%,” katanya.