Sri Mulyani Putar Otak Tambah Basis Pajak RI

19 March 2021

detikFinance

Jumat, 19 Mar 2021

Jakarta –

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terus memutar otak agar basis pajak atau rasio pajak nasional meningkat. Saat ini, rasio pajak Indonesia diakuinya masih rendah.

Berdasarkan Survei Economics OECD 2021, rasio pajak Indonesia tercatat 11,9% terhadap PDB atau jauh di bawah rata-rata OECD yang sebesar 34,4%. Salah satu upaya yang dilakukan adalah berharap forum G20 bisa mempercepat kesepakatan implementasi pajak digital.

“Rasio pajak perlu ditingkatkan dan reform perlu dilakukan. Saat ini kita mencari cara bagaimana memperdalam basis pajak, dan diharapkan di forum G20 bisa tercapai ketentuan pajak digital ini sehingga bisa adil,” kata Sri Mulyani dalam acara peluncuran OECD Economics Survey of Indonesia 2021 secara virtual, Kamis (18/3/2021).

OECD mengusulkan pemerintah Indonesia dalam meningkatkan basis pajak salah satunya dari sektor properti dan industri tembakau.

“Meningkatkan tarif pajak tertentu, misalnya, untuk tembakau serta memperluas basis pajak, menutup celah dan meningkatkan kepatuhan pada pajak penjualan juga dapat membantu menopang pendapatan,” tulis laporan OECD.

Pada kesempatan ini, Sri Mulyani juga menceritakan program bantuan sosial (bansos) berhasil mencegah peningkatan angka kemiskinan di tanah air khususnya bagi masyarakat yang terdampak COVId-19.

“Bagaimana bisa men-support yang paling rentan, yaitu populasi yang paling terdampak karena tidak bisa melakukan mobilitas dan itu sangat menekan sektor informal dan UKM di Indonesia,” kata dia.

Pemerintah menetapkan target penerimaan pajak sebesar Rp 1.229,6 triliun. Hingga 31 Januari 2021, realisasinya baru mencapai Rp 68,5 triliun atau 5,6% dari target.

Sri Mulyani mengatakan setoran pajak yang mencapai Rp 68,5 triliun ini terkontraksi atau lebih rendah 15,3% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp 80,8 triliun. Salah satu faktor seretnya penerimaan pajak di awal tahun 2021, kata Sri Mulyani karena setoran yang berasal dari sektor migas.

“Harga dari migas kita dibandingkan Januari tahun lalu, meski sudah di atas asumsi, itu masih di bawah kondisi harga minyak tahun 2020. Jadi, memang mengalami penurunan,” kata dia.

Dari penerimaan yang mencapai Rp 68,5 triliun, berasal dari PPh migas sebesar Rp 2,3 triliun dan pajak non migas totalnya Rp 66,1 triliun. Kedua sektor ini masing-masing terkontraksi 19,8% dan 15,2%.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini juga menjelaskan rendahnya penerimaan pajak di awal 2021 karena salah satu kebijakan pemberian insentif yang dilanjutkan hingga pertengahan tahun ini.