STRUKTUR PENERIMAAN APBN 2022, ‘Beban’ Pajak Beralih ke Jelata

23 November 2021

BisnisIndonesia_Tegar Arief, Senin, 22/11/2021 02:00 WIB

Bisnis, JAKARTA — Di tengah rentannya daya beli masyarakat, pemerintah justru menaikkan target penerimaan pajak atas konsumsi pada 2022. Adapun, sasaran pungutan atas penghasilan dipangkas. n

Di dalam UU No. 6/2021 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2022, target Pajak Pertambahan Nilai (PPN) serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) ditetapkan senilai Rp554,38 triliun.

Angka tersebut naik sebesar 6,9% dibandingkan dengan target yang tertuang di dalam APBN 2021 yakni senilai Rp518,55 triliun.

Sementara itu, penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) dipangkas dari Rp683,77 triliun di dalam APBN 2021 menjadi Rp680,87 triliun pada APBN 2022.

Sekadar informasi, kontributor utama dari penerimaan PPh selama ini berasal dari PPh Badan atau pajak korporasi. Adapun, PPN disumbang oleh masyarakat sehingga menjadi potret tingkat daya beli.

Jika ditelusuri ke belakang, rentannya daya beli masyarakat tergambar di dalam tingkat inflasi yang terpantau masih cukup rendah.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, indeks harga konsumen (IHK) hanya mengalami inflasi sebesar 1,66% (year-on-year/YoY) pada Oktober 2021, sementara inflasi tahun kalender hanya sebesar 0,93% (year-to-date/YtD).

Angka inflasi tahun kalender itu masih jauh di bawah sasaran Bank Indonesia (BI) yang menargetkan IHK di kisaran 2%—4%. Hal ini makin mengonfirmasi bahwa permintaan masyarakat masih cukup lemah.

Sejalan dengan belum tangguhnya daya beli akibat terimpit pandemi Covid-19, kenaikan target PPN berisiko makin membebani masyarakat.

Di sisi lain, meskipun secara nilai sasaran PPh lebih tinggi, turunnya target penerimaan pajak atas penghasilan dan naiknya incaran PPN menegaskan bahwa pemerintah berupaya untuk mengalihkan ketergantungan struktur penerimaan dari pajak korporasi ke pajak konsumsi.

Hal ini pun sebenarnya telah digaungkan oleh otoritas fiskal sejak jauh-jauh hari. Pasalnya, penerimaan negara cukup rentan jika hanya mengandalkan penerimaan PPh karena tingginya ketidakpastian ekonomi yang berisiko menggerus penerimaan korporasi.

Peralihan tumpuan ini juga sejalan dengan tren global, yakni mayoritas negara lebih mengandalkan penerimaan dari konsumsi, bukan pajak korporasi.

Otoritas pajak berdalih, kenaikan target PPN di dalam APBN 2022 juga menggunakan asumsi bahwa pemulihan ekonomi pada tahun ini akan signifikan sehingga berdampak positif pada melejitnya daya beli masyarakat.

“Target PPN tahun depan berangkat dari ekspektasi pemulihan ekonomi dengan memperhitungkan normalisasi pertumbuhan pada 2021,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor kepada Bisnis, akhir pekan lalu.

Menurutnya, kondisi daya beli masyarakat yang berangsur pulih menguatkan optimisme pemerintah guna merealisasikan pencapaian target penerimaan pada tahun depan, terutama pajak atas konsumsi.

Selain itu, kenaikan angka sasaran PPN juga berdasar pada upaya yang dilakukan oleh Ditjen Pajak dalam memperluas basis di skema perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) atau pajak atas transaksi digital.

Perluasan perusahaan yang menjadi wajib pungut akan terus dilakukan oleh otoritas pajak, baik subjek pajak luar negeri (SPLN) maupun subjek pajak dalam negeri (SPDN).

“Harapannya, makin banyak perusahaan digital yang memungut, menyetor, dan melaporkan PPN atas transaksi yang dijalankan,” kata Neil.

Adapun penetapan target atas PPh di dalam APBN 2022 menurutnya mengacu pada outlook penerimaan pada tahun ini, yang diproyeksikan berada pada angka Rp615,2 triliun.

Menyikapi arah kebijakan pemerintah ini, Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono mengatakan, kenaikan target penerimaan PPN mengacu pada kondisi ekonomi terkini.

Menurutnya, ada dua faktor yang melandasi pemerintah mengerek target pajak atas konsumsi masyarakat.

KENAIKAN TARIF

Pertama, kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% yang akan mulai berlaku pada April 2022. Kendati kenaikan hanya 1%, potensi penerimaan dari PPN cukup besar mengingat gemuknya transaksi atas konsumsi masyarakat.

Kedua, kemudahan dari sisi administrasi. Pungutan atas PPN jauh lebih mudah karena hanya berbasis pada transaksi masyarakat.

Sementara itu, penarikan pajak atas PPh penuh dengan problematika karena mengandung unsur praktik penghindaran pajak, baik yang lebal maupun ilegal.

“Pengenaan PPN tidak rumit dan jauh dari praktik perencanaan pajak secara agresif. PPN langsung dikenakan atas output yang setara degan nilai transaksi,” jelasnya.

Senada, Pemerhati Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menambahkan, optimisme pemerintah dalam meneropong target PPN pada tahun depan berkaca pada prospek pulihnya daya beli masyarakat.

Musababnya, penerimaan pajak atas konsumsi dalam 2 bulan terakhir tercatat cukup positif, bahkan berhasil menorehkan pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan dengan penerimaan PPh.

“Penerimaan PPN sampai pertengahan tahun ini memang sudah ada perbaikan,” ujarnya.

Di sisi lain, kekuatan pemerintah dalam memungut Pajak Pertambahan Nilai masih jauh di bawah potensi, kendati tingkat konsumsi masyarakat per kuartal III/2021 telah menunjukkan perbaikan.

Berdasarkan data BPS, total konsumsi rumah tangga sepanjang Januari—September 2021 mencapai Rp6.856,2 triliun. Capaian tersebut naik sebesar 3,17% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yakni Rp6.645,4 triliun.

Sementara itu, penerimaan PPN pada periode tersebut tercatat mencapai Rp339,32 triliun, tumbuh sebesar 19,25% dibandingkan dengan Januari—September tahun lalu yang hanya Rp283,88 triliun.

Akan tetapi, kemampuan pemerintah dalam memungut PPN yang terefleksi di dalam value added tax (VAT) gross collection ratio hanya 49,49%. Artinya, pemerintah hanya berhasil memungut pajak atas konsumsi masyarakat sebesar 49,49% dari seluruh potensi yang ada.

Sekadar informasi, VAT gross collection ratio merupakan skema yang paling ideal untuk mengukur keberhasilan pemerintah dalam menarik pajak atas konsumsi masyarakat. Pasalnya, skema ini menggunakan basis acuan konsumsi rumah tangga.