Surati Sri Mulyani, Pengusaha Protes Baju Impor Kena Tambahan Bea Masuk

17 November 2021

Siti Fatimah – detikFinance
Rabu, 17 Nov 2021

Jakarta – Pemerintah mengeluarkan aturan baru terkait pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) produk dan aksesori pakaian. Menanggapi hal tersebut, APREGINDO (Asosiasi Pengusaha Ritel Merek Global Indonesia) yang terdiri dari perusahaan distribusi, pemegang merek dan prinsipal merek (brand) internasional di Indonesia meminta agar pemerintah menunda kebijakan tersebut.
“Kami menghormati sepenuhnya keputusan Pemerintah/Menteri Keuangan tentang BMTP, namun dengan fakta dan masukan kami diharapkan agar Ibu Menteri Keuangan dapat mempertimbangkan untuk dilakukan penundaan pelaksanaan (kebijakan tersebut),” kata Ketua Umum APREGINDO, Handaka Santosa dalam surat terbukanya kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani yang diterima detikcom, Rabu (17/11/2021).

Bukan tanpa alasan, Handaka mengungkapkan beberapa kondisi yang saat ini terjadi di lapangan. Dia mengatakan, sektor ritel impor sudah menjadi bagian dari pertumbuhan ekonomi, setidaknya ada 40.000 karyawan yang bergantung nasib pada sektor ini.

Namun, jika kebijakan tersebut berlaku, tentu akan terjadi penurunan keuntungan dan kerugian akibat adanya tambahan biaya yang berimbas pada pengurangan karyawan. Belum lagi pemulihan dari dampak pandemi COVID-19 yang belum sepenuhnya terjadi.

“Sektor kami adalah usaha padat karya karena untuk seluas 25 meter persegi akan membutuhkan 1 tenaga kerja. Tutupnya toko-toko di pusat belanja, dikarenakan penurunan keuntungan atau timbulnya kerugian akibat berbagai tambahan biaya akan berdampak kepada pengurangan karyawan yang signifikan,” ujarnya.

Handaka mengungkapkan, saat ini Bea Masuk yang dikenakan kepada garmen impor sudah cukup tinggi, yaitu sebesar 25%. Dari perhitungannya, BMPT ini berpengaruh cukup tinggi terhadap FoB (sampai dengan 70% dari FoB), menggerus margin keuntungan, dan menambah biaya-biaya lain seperti PPH impor, proses sertifikasi SNI untuk beberapa kategori produk impor, proses inspeksi sebelum produk impor tiba di Indonesia, biaya perizinan yang tinggi serta biaya pajak langsung dan tidak langsung.

Oleh sebab itu, ada kemungkinan biaya tambahan ini akan dibebankan kepada konsumen dalam bentuk kenaikan harga barang. Handaka juga mengatakan, ujungnya yang akan terjadi adalah inflasi atau pengurangan margin keuntungan perusahaan yang berakibat pada penurunan kontribusi pajak.

“Kami sangat menyayangkan adanya tambahan tarif dalam bentuk Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMPT) untuk produk impor pakaian jadi yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 142/PMK.010/2021 tentang Pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Terhadap Impor Produk Pakaian dan Aksesoris Pakaian,” katanya.

Pihaknya memberikan masukan kepada pemerintah bahwa yang menjadi pesaing garmen lokal dan mematikan pengusaha kecil dan menengah adalah garmen impor massal/generic yang menjual pakaian impor dengan harga sangat murah, bukan garmen impor merek global.
“Produk-produk yang kami tawarkan kepada masyarakat memiliki konsep dan gaya (style) yang berbeda. Tersedianya produk merek global yang lengkap dengan harga kompetitif di Indonesia dan terpadu dengan garmen lokal akan membuat nyaman turis mancanegara, meningkatkan belanja turis dan menjadikan Indonesia sebagai shopping destination,” paparnya.

Selain itu, dia juga mengatakan, adanya kebijakan ini akan menurunkan kepercayaan principal (brands) terhadap pemerintah Indonesia. Merek global mengandalkan global value chain (GVC) dan kemudahan ekspor impor untuk memasok berbagai variasi produk kepada konsumennya.

“Penerapan BMTP akan membuat Indonesia semakin tidak kompetitif di sisi ritel, jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan lain-lain dari sisi harga dan kelengkapan/variasi produk,” kata Handaka.

Akibatnya konsumen kelas menengah ke atas akan berbelanja ke luar negeri dan jasa penitipan barang dari luar negeri akan semakin marak terjadi. Lebih jauh lagi akan berpotensi menghilangkan potensi devisa dari PPN ritel dan bea masuk.

“Sebagai pelaku bisnis ritel, kami mengkhawatirkan adanya potensi penurunan penerimaan negara dari bea masuk, PPN Impor, PPN Ritel dan juga PPh Badan,” pungkasnya.