TANTANGAN FISKAL 2024 Dagang-El Menggerus Basis Pajak

23 May 2023

Tegar Arief
Selasa, 23/05/2023

Bisnis, JAKARTA — Masifnya perkembangan perdagangan melalui sistem elektronik atau dagang-el meninggalkan konsekuensi yang amat berat terhadap fiskal negara, yakni tergerusnya basis pajak atau tax base yang menggerogoti potensi penerimaan pada tahun depan.

Risiko itu telah ditelaah oleh pemerintah dan dianggap sebagai salah satu aral fiskal dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2024, yang menjadi cikal bakal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024.

Pemerintah menyadari besarnya potensi ekonomi yang dihadirkan oleh aktivitas dagang-el. Perdagangan digital pun diyakini bakal terus meningkat pada tahun depan.

Akan tetapi, di sisi lain dagang-el akan menyebabkan peningkatan shadow economy alias aktivitas ekonomi yang tidak dapat dilacak oleh negara dan rawan penyimpangan.

Tak pelak, kondisi itu kemudian melahirkan risiko hilangnya basis pajak atau tax base, khususnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Badan alias pajak korporasi.

Celakanya, baik PPN maupun PPh Badan merupakan jenis pajak yang menjadi sumber utama penerimaan negara selama ini. Alhasil, basis pajak yang terus terkikis mengancam kredibilitas fiskal di tengah pemulihan ekonomi.

Sekadar informasi, shadow economy berkaitan erat dengan seluruh aktivitas ekonomi baik yang dilakukan individu, rumah tangga, maupun perusahaan dengan tujuan untuk menghindari atau mengelak dari kewajiban administrasi di institusi pemerintah.

Biasanya, dagang-el yang terindikasi ke dalam shadow economy berkorelasi dengan transaksi lintas negara. Kalangan pemerhati pajak pun memandang kewaspadaan yang tertuang dalam KEM PPKF 2024 itu patut direspons dengan cepat.

Direktur Eksekutif Pratama Kreston Tax Research Institue Prianto Budi Saptono, mengatakan potensi hilangnya basis pajak dari PPN amat besar dalam transaksi lintas batas, khususnya transaksi customer to customer (C2C) dan business to consumer (B2C).

Pasalnya, transaksi B2C tersebut berhubungan dengan penjualan barang atau jasa di luar negeri dan pembelinya merupakan konsumen individu atau rumah tangga di dalam negeri.

“Atas transaksi tersebut seharusnya pembeli sebagai penanggung PPN menyetor sendiri . Akan tetapi, pembeli individu atau rumah tangga cenderung tidak mau setor PPN sendiri,” jelasnya kepada Bisnis, Senin (22/5).

Kementerian Keuangan memang telah mengatasi hal ini dengan menunjuk banyak perusahaan pemungut PPN atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) sejak 2020 silam.

Akan tetapi, hal itu masih belum mampu mencakup seluruh transaksi dan potensi penerimaan. Hal itu tecermin dari data penerimaan PPN PMSE yang masih terbatas. (Lihat infografik).

Prianto menambahkan, risiko juga muncul atas PPh Badan, yang disebabkan oleh basis pengenaan pajak. Menurutnya, PPh Badan juga mencakup kewajiban yang dijalankan oleh subjek pajak berupa bentuk usaha tetap (BUT) atau permanent establishment.

Mengacu pada ketentuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B), BUT menjadi prasyarat agar pengenaan PPh ada di negara sumber penghasilan atau negara pasar, dalam hal ini Indonesia.

Konsep tersebut berkaitan dengan physical presence. Artinya, penghasikan wajib pajak luar negeri dari Indonesia sebagai negara sumber akan dikenai PPh di Indonesia sepanjang wajib pajak luar negeri tersebut memiliki kehadiran fisik di dalam negeri.

“Ketika ekonomi digital berkembang pesat, prasyarat physical presence kurang relevan karena wajib pajak luar negeri dapat memperoleh penghasilan dari Indonesia tanpa melalui keberadaan fisik,” katanya.

Dalam rangka meminimalisasi penggerusan basis pajak, menurutnya pemerintah wajib memperbanyak perusahaan pemungut PPN PMSE dan mempercepat implementasi pemajakan atas korporasi digital yang saat ini tengah dibahas dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

Senada, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar, membenarkan bahwa munculnya beberapa platform digital mendorong adanya sektor informal atau shadow economy.

Sementara itu, sektor informal atau shadow economy merupakan momok utama tidak maksimalnya kinerja rasio pajak atau tax ratio di Indonesia.

Terlebih, mengacu pada data Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, pertumbuhan nilai dagang-el di Indonesia mencapai 78%, dan menjadi yang tertinggi di dunia.

“Jadi benar ada risiko besar di masa depan. Cuma saya melihat ini sebagai risiko jangka menengah-panjang bukan 2024,” ujarnya.

Fajry menambahkan, pemerintah sesungguhnya telah mengantisipasi risiko tersebut melalui Undang-Undang (UU) No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), yakni dengan menjadikan platform digital sebagai pihak ketiga yang memungut pajak.

Selain itu, menurutnya pemerintah perlu mempertimbangkan langkah pencegahan lainnya untuk mengatasi shadow economy.

Pertama, mendorong digitalisasi sistem pembayaran sektor informal, sehingga fiskus bisa menggali potensi pajak. Kedua, mendorong pelaku transaksi untuk naik kelas atau memberi kemudahan untuk memiliki status legal.

“Ketiga, Ditjen Pajak perlu meningkatkan kapasitas sumber daya manusia yang jumlahnya selama ini masih timpang dibandingkan jumlah wajib pajak,” katanya.

KASUS MENAHUN

Sejatinya, shadow economy dan kaitannya dengan penggerusan basis pajak adalah kasus menahun yang belum bisa ditangani oleh pemangku kebijakan.

Pada 2021 lalu misalnya, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan transaksi jumbo yang dilakukan oleh 500.000 rekening ‘gelap’ atau tanpa Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

PPATK mencatat, 500.000 rekening ‘gelap’ itu terjadi dalam sektor perdagangan melalui sistem elektronik atau dagang-el.

Temuan ini menjadi penanda bahwa aktivitas keuangan di lingkaran shadow economy masih belum tertangani dengan baik oleh otoritas fiskal dan pihak terkait lainnya.

Dalam kaitan ini, Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo, institusinya akan terus melakukan pengawasan sehingga kepatuhan wajib pajak terus menanjak.

“Dalam kondisi apapun juga kami akan terus melakukan fungsi utama, yaitu melakukan pelayan auntuk meningkatkan compliance wajib pajak,” katanya.

Suryo pun tidak bersedia memberikan banyak penjelasan mengenai langkah otoritas pajak ke depan dalam mengamankan basis pajak dalam kaitan dagang-el.

Sementara itu, Bisnis mencatat PPATK dan Ditjen Pajak Kementerian keuangan telah bekerja sama untuk mengungkap shadow economy di sektor dagang-el, yakni memperluas data dari penyedia jasa keuangan, dan mendeteksi trade based money laundering.

Kedua strategi itu ditempuh lantaran praktik pencucian uang di bidang perpajakan tidak hanya dilakukan melalui transaksi biasa, juga via transaksi di sektor perdagangan.

Sejalan dengan kiat ini, maka penyedia jasa keuangan wajib melakukan pemantauan terhadap transaksi pembayaran perdagangan yang dilakukan oleh para eksportir dan importir untuk ditindaklanjuti dengan analisis atau pemeriksaan PPATK.

Meskipun demikian, dalam pengungkapan trade based money laundering ini, PPATK membutuhkan kerja sama dan pertukaran data antarkementerian dan lembaga yang lebih luas.

Editor : Tegar Arief