TANTANGAN PENERIMAAN NEGARA 2023, Mengasah ‘Cangkul’ Penggali Pajak

12 October 2022

BisnisIndonesia, Rabu, 12/10/2022 02:00 WIB

Setelah sejak 2021 menikmati lena komoditas, 2023 menjadi tahun penuh tantangan bagi penerimaan pajak yang sepi momentum dan minim katalis. Aneka jenis ‘cangkul’ untuk menggali potensi penerimaan pun masih belum sepenuhnya tajam.

Otoritas fiskal menyadari, 2023 yang bertepatan dengan warsa konsolidasi masih penuh dengan misteri akibat dinamika ekonomi terkini yang menghadirkan cuaca gelap bagi penerimaan pajak.

Tak bisa dinafikan, booming komoditas muskil berulang pada tahun depan sehingga tak lagi mampu menjadi juru selamat penerimaan pajak. Intaian inflasi hingga krisis keuangan dan resesi dunia pun memburamkan teropong fiskal.

Sementara itu, beberapa inisiatif yang telah dan akan dilakukan oleh pemerintah masih diragukan keandalannya.

Pertama, core tax system atau sistem inti perpajakan. Pemanfaatan teknologi untuk menguatkan fondasi sistem perpajakan ini digagas sejak 2018, dan direncanakan meningkatkan konektivitas seluruh kantor pelayanan pajak, kantor wilayah, hingga kantor pelayanan, penyuluhan, dan konsultasi perpajakan.

Sayangnya, implementasi core tax system baru akhir tahun depan, tepatnya Oktober 2023. Faktanya, core tax system berperan amat krusial dalam menciptakan pembaruan teknologi yang menyediakan dukungan terpadu bagi pelaksanaan tugas Ditjen Pajak.

Alhasil, pemanfaatan dari sistem administrasi ini tak bisa maksimal untuk mendulang penerimaan sepanjang tahun depan.

Kedua, Asia Initiative yang mencakup kerja sama transparansi dan pertukaran informasi antarnegara Asia. Tercatat ada 10 negara selain Indonesia yang bergabung dalam inisiatif ini.

Yurisdiksi yang tergabung dalam Asia Initiative adalah Indonesia, Brunei Darussalam, Hong Kong, India, Korea Selatan, Jepang, Makau, Malaysia, Maladewa, Singapura, dan Thailand.

Akan tetapi, peluang untuk mengimplementasikan seluruh deklarasi tersebut pada tahun depan amat kecil, mengingat hingga detik ini substansi dari kesepakatan itu masih dikaji secara mendalam.

Padahal, Asia Initiative merupakan simbol dari upaya kolektif regional untuk memerangi penghindaran pajak dan aliran transaksi gelap lainnya, dan memfasilitasi otoritas pajak guna menegakkan kepatuhan perpajakan.

“Konsensus global sepertinya belum bisa diimplementasikan tahun depan,” kata Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar kepada Bisnis, Selasa (11/10).

Ketiga, tertundanya penandatanganan multilateral convention (MLC) Pilar 1: Unified Aprroach yang difasilitasi oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD).

Dalam kesepakatan terbaru, implementasi MLC Pilar 1 akan disepakati pada pertengahan tahun depan dan berlaku pada 2024. Artinya, Indonesia penggalian potensi penerimaan pajak pun makin terbatas.

Terlebih, konsensus global mengenai substansi ini pun memberikan angin segar bagi penerimaan negara. Melalui Pilar 1, sistem perpajakan internasional bisa lebih adil bagi setiap negara.

Secara konkret, skema ini memberikan 25% keuntungan setiap korporasi multinasional kepada negara tempat perusahaan tersebut beroperasi.

Keempat, adanya momentum yang tidak berulang, terutama penerimaan yang bersumber dari Program Pengungkapan Sukarela (PPS) dan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10% menjadi 11%.

Kedua terobosan fiskal itu diakomodasi dalam UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Sayangnya, PPS hanya berlaku hingga Januari 2022.

Memang, pemerintah masih memiliki ruang untuk menaikkan tarif PPN dengan mengacu pada Pasal 7 BAB IV UU HPP. Pasal itu menuliskan, tarif PPN bisa dinaikkan menjadi 12% mulai berlaku maksimal pada 1 Januari 2025.

DAYA BELI TIPIS

Lamun, kans untuk mengeksekusi kenaikan itu pada 2023 amat kecil, mengingat besarnya risiko penggerusan daya beli akibat lesatan inflasi, dan masih terasanya impak kenaikan tarif PPN menjadi 11% per 1 April 2022 terhadap konsumsi rumah tangga.

Kelima, belum maksimalnya integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Sejauh ini, integrasi itu masih ditetapkan terbatas dan baru berlaku penuh pada Januari 2024.

Penyatuan identitas itu sejatinya amat penting untuk memudahkan fiskus dalam mendeteksi keberadaan, aktivitas bisnis, hingga transaksi yang dilakukan oleh wajib pajak.

Tanpa adanya identitas tunggal wajib pajak, aktivitas underground economy masih sulit dideteksi. Efeknya, banyaknya potensi penerimaan pajak yang tidak terpungut.

Keenam, rentetan dinamika global yang menyengat ekonomi nasional, di antaranya lonjakan inflasi dunia hingga besarnya dampak perang Rusia-Ukraina.

Ada pula tantangan dari pengetatan likuiditas dan kenaikan suku bunga acuan oleh bank sentral sehingga memacu volatilitas di pasar keuangan, capital outflow, dan pelemahan rupiah.

“Pada akhirnya, kinerja bisnis yang berbasis komoditas tidak sustainable pada 2023 karena rentan terhadap gejolak harga internasional,” kata pengajar ilmu administrasi fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono.

Sementara itu, otoritas fiskal mengandalkan peningkatan pengawasan untuk memperbaiki kepatuhan wajib pajak guna menggali lubang sumur penerimaan.

“Kunci untuk menegakkan kepatuhan adalah bagaimana kita bisa mengidentifikasi wajib pajak secara benar,” kata Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengawasan Pajak Nufransa Wira Sakti.