TARGET APBN 2023 Ambisi Tinggi Pajak Konsumsi

19 December 2022

Tegar Arief
Jum’at, 16/12/2022

Bisnis – Di tengah amukan inflasi dan terdengarnya auman resesi dunia yang siap menerkam daya beli masyarakat, pemerintah justru me­ne­­tapkan target pajak atas konsumsi yang penuh ambisi pada 2023. Faktanya, sejauh ini performa daya beli masih gontai.

Dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 130/2022 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2023, target penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dalam Negeri tercatat Rp475,37 triliun.

Angka tersebut naik sebesar 19,33% dibandingkan dengan target dalam Perpres No. 98/2022 yang memayungi APBN 2022 Perubahan, yakni Rp398,35 triliun.

Secara total, target PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) pada tahun depan menanjak hingga 16,26% yakni dari Rp638,99 triliun menjadi Rp742,95 triliun.

Komposisi PPN dan PPnBM memang cukup beraga, yakni mulai dari PPN Dalam Negeri dan PPN Impor, serta PPnBM Dalam Negeri dan PPnBM Impor. Namun, yang cukup krusial adalah PPN Dalam Negeri.

Musababnya, jenis pajak ini mencerminkan kondisi riil daya beli masyarakat. Sementara itu, PPN Impor tidak secara langsung memotret kemampuan beli masyarakat.

Adapun, PPnBM adalah pajak yang dipungut atas transaksi barang yang tergolong mewah. Artinya, hanya masyarakat tertentu dengan daya beli tangguh yang melakukan transaksi barang ini.

Sementara itu, pada tahun depan inflasi masih menjadi ancaman utama seluruh negara termasuk Indonesia. Naiknya indeks harga konsumen (IHK) pun akan berimbas pada tertekannya daya beli masyarakat.

Jika demikian, maka kemampuan untuk mengonsumsi pun terbatas dan bermuara pada tersumbatnya setoran PPN Dalam Negeri.

“Butuh stabilitas konsumsi di dalam negeri, karena itu yang menjadi basis utama pengenaan PPN,” kata Direktur Eksekutif Pratama Kreston Tax Research Institue Prianto Budi Saptono kepada Bisnis, Kamis (15/12).

Dalam jangka panjang, konsumsi memang didesain sebagai sumber utama penerimaan negara yang sejauh ini amat bergantung pada pungutan yang berbasis atas penghasilan alias Pajak Penghasilan (PPh).

Namun, misi peralihan itu masih membu­tuhkan waktu yang cukup lama. Apalagi, ancaman inflasi jelas tak main-main. Kendati di­­klaim cukup stabil, sejatinya inflasi di Indonesia tetap masih tinggi.

Sesungguhnya, sinyal pelemahan konsumsi pun cukup terlihat. Ini pun telah dicermati oleh sejumlah lembaga internasional yang mengoreksi prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia.

International Monetary Fund (IMF), misalnya, pada Oktober lalu merevisi ke bawah pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023, yakni dari 5,2% menjadi 5%.

Pun dengan Asian Development Bank (ADB) yang bulan ini memangkas dari 5% menjadi 4,8%, sementara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada bulan lalu merevisi dari 4,8% menjadi 4,7%.

Pemotongan estimasi pertumbuhan ekonomi itu tak bisa dibantah berkaitan sangat erat dengan prospek daya beli dan konsumsi masyarakat. Alasannya, konsumsi rumah tangga berkontribusi 50% lebih terhadap produk domestik bruto (PDB).

Makin tinggi konsumsi rumah tangga, makin tinggi pula laju ekonomi, yang kemudian juga terkorelasi pada penerimaan PPN Dalam Negeri. Begitu pula sebaliknya.

“Penghambat pencapaian target adalah ketika dampak resesi menimpa konsumsi dalam negeri,” kata Prianto.

Di sisi lain, sepanjang tahun berjalan 2022 yang berakhir Oktober, performa pajak konsumsi tak bagus-bagus amat. PPN tercatat sebagai salah satu sumber utama penyetor ke negara yang belum mencapai target.

Kementerian Keuangan mencatat realisasi PPN per Oktober lalu senilai Rp569,75 triliun, setara dengan 89,15% dari angka sasaran.

Adapun, PPh terpantau telah terealisasi hingga 104,76% dengan perincian PPh Nonmigas terpungut 104,73% dari target, sedangkan PPh Migas mencapai 105,11%.

FASILITAS

Celakanya, rezim PPN masih mempertahankan beragam fasilitas pengecualian terhadap barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP) yang sejatinya kurang krusial.

“Pengurangan fasilitas PPN juga dapat digunakan [untuk memperluas basis pajak,” kata Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar.

PPN menjadi jenis pajak yang banyak mendapatkan fasilitas pengecualian. Terbaru, pemangku kebijakan menerbitan Peraturan Pemerintah (PP) No. 49/2022 tentang PPN Dibebaskan dan PPN atau PPnBM Tidak Dipungut Atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu dan/atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Tertentu dari Luar Daerah Pabean.

Pada beleid turunan UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) itu, otoritas fiskal memberikan fasilitas dibebaskan dan tidak dipungut PPN untuk aneka BKP dan JKP.

Kebijakan ini pun akan kian membatasi akselerasi penerimaan pajak atas konsumsi, sekaligus memperlambat transisi sumber utama pajak dari PPh ke PPN.

“Pembebasan PPN atau PPN tidak dipungut akan terus dievaluasi dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian dan dampaknya terhadap penerimaan negara,” jelas Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor.

Fasilitas untuk PPN memang pantas disediakan. Sebabnya, hal ini berkaitan dengan kemampuan daya beli masyarakat kelas bawah.

Akan tetapi, idealnya pemerintah juga lebih realistis dalam menyusun target-target pajak atas konsumsi yang sebenarnya masih sangat tidak pasti pada 2023 yang juga merupakan tahun konsolidasi.

Editor : Tegar Arief