TAX RATIO RENDAH Target Rasio Pajak Pesimistis

07 September 2022

Tegar Arief
Rabu, 07/09/2022

Bisnis, JAKARTA — Meningkatnya ketidakpastian ekonomi serta ancaman melonjaknya inflasi mendorong pemerintah untuk lebih realistis dalam memasang angka sasaran rasio pajak pada tahun ini dan tahun depan.n

Berdasarkan data Kementerian Keuangan yang diperoleh Bisnis, outlook rasio pajak pada tahun ini berada pada posisi 8,6%, sedangkan tahun depan diprediksi turun menjadi 8,2%.

Faktanya, outlook penerimaan pajak pada tahun ketiga pandemi Covid-19 mencapai Rp1.608,1 triliun, angka tertinggi sepanjang sejarah perpajakan nasional.

Sasaran rasio pajak tersebut juga lebih rendah dibandingkan dengan penghitungan yang mengacu pada outlook penerimaan pajak dengan estimasi produk domestik bruto (PDB).

Dengan menggunakan asumsi PDB di dalam APBN 2022 yang berada di angka Rp17.897,3 triliun, maka rasio pajak pada tahun ini idealnya mampu berada pada posisi 8,98%.

Artinya, lebih rendahnya tax ratio yang ditargetkan pemerintah tersebut mengindikasikan adanya pesimisme pemangku kebijakan dalam mengejar target pajak.

Sementara itu, Kementerian Keuangan dalam data yang diperoleh Bisnis menuliskan bahwa penerimaan pajak amat dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi dan fluktuasi harga komoditas.

“Ditjen Pajak terus meningkatkan upaya optimalisasi penerimaan melalui pengawasan pembayaran masa dan pengujian kepatuhan,” tulis data yang dikutip Bisnis, Selasa (6/9).

Tak bisa dimungkiri, komoditas memang menjadi mesin utama pendorong penerimaan negara sehingga berpotensi mendongkrak rasio pajak.

Hal itu pun tecermin dalam penghitungan otoritas fiskal perihal angka rasio pajak dengan mengesampingkan dua katalis utama pendongkrak penerimaan, yakni Program Pengungkapan Sukarela (PPS) dan kenaikan harga komoditas.

Tanpa adanya PPS dan kenaikan harga komoditas, rasio pajak pada tahun ini hanya mencapai 6,8%, sementara tahun depan di angka 7,2%. (Lihat infografik).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat mengikuti Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (5/9), pun mengakui bahwa komoditas menjadi salah satu faktor penentu tergapainya target rasio pajak.

“Harga komoditas kontribusinya cukup dominan, bisa antara 10%—20% terhadap total penerimaan pajak yang kemudian memengaruhi tax ratio,” kata Menkeu.

Adapun, pada tahun depan Sri Mulyani berdalih target yang ditetapkan oleh pemerintah untuk performa pajak memang lebih konservatif, mengingat masih tingginya ketidakpastian ekonomi.

Hal tersebut disebabkan oleh dinamika geopolitik antara Rusia dan Ukraina, lonjakan inflasi di sejumlah negara, serta impaknya pada pergerakan suku bunga acuan di bank sentral utama dunia.

“Ini menjadi tantangan pengelolaan keuangan negara,” tegas Menkeu.

Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo menambahkan, otoritas pajak akan terus melakukan berbagai upaya dalam rangka mengatrol tax ratio.

Di antaranya adalah optimalisasi aktivitas pengawasan, pemeriksaan, penegakan hukum, hingga implementasi UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

“Perubahan harga komoditas harus kami awasi realisasi pembayaran pajaknya pada tahun-tahun ketika komoditas naik,” kata Suryo.

Dia pun tak memungkiri bahwa tax ratio di Indonesia menjadi salah satu yang terendah di Asia Pasifik.

Pengakuan itu pun ditegaskan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam laporan berjudul Revenue Statistics in Asia and the Pacific 2022.

Laporan tersebut mencatat, realisasi rasio pajak Indonesia pada 2020 hanya 10,1%, sedangkan rata-rata Asia Pasifik berada di angka 19,1%.

Indonesia hanya mampu parkir di atas dua negara kecil Asia, yakni Bhutan dan Laos.

Dalam menyusun laporan rasio pajak, OECD memiliki standar yang berbeda, yakni dengan membandingkan penerimaan pajak, bea dan cukai, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sumber daya alam (SDA), serta pajak daerah dengan PDB.

Akan tetapi, apabila Indonesia menggunakan pemaknaan rasio pajak sesuai dengan standar OECD itu pun realisasi yang terpantau pada 2020 masih amat rendah.

Suryo menjelaskan, tax ratio yang membandingkan penerimaan pajak serta bea dan cukai dengan PDB berkisar 10%. Kemudian, kontribusi PNBP SDA sebesar 1,5%, dan pajak daerah 1,5% sehingga total tax ratio hanya 13%.

“Tentu ini terbilang masih rendah dibandingkan dengan negara lain,” ujarnya.

Perihal rendahnya capaian rasio pajak, Anggota Komisi XI DPR Andreas Eddy Susetyo menyarankan kepada pemerintah untuk mengidentifikasi beragam faktor yang menggerus tax ratio untuk kemudian ditindaklanjuti.

“Perlu upaya ekstra, dan ini menjadi tugas bersama kita untuk melakukan perubahan,” ujarnya.

TAX GAP

Sementara itu, kalangan pemerhati pajak memandang besarnya tax gap atau pajak yang tidak terpungut menjadi biang kerok rendahnya rasio pajak di Tanah Air.

Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI) Prianto Budi Saptono menjelaskan ada beberapa penyebab besarnya potensi penerimaan yang tidak terpungut sehingga menjadi pengganjal akselerasi rasio pajak.

Pertama, adanya perbedaan antara kewajiban pajak yang dikenakan berdasarkan undang-undang pada tahun pajak tertentu, dan jumlah pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak secara sukarela dan tepat waktu dalam periode tersebut.

Kedua, adanya praktik pengelakan pajak atau tax evasion dan penghindaran pajak alias tax avoidance.

Tax evasion terjadi ketika wajib pajak tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya secara ilegal dan melanggar peraturan.

Adapun, tax avoidance muncul karena wajib pajak dapat mengefisienkan biaya pajak dengan cara mencari celah peraturan perpajakan sehingga memberikan keuntungan atau tax loopholes.

“Tax avoidance itu legal, tetapi tidak sesuai dengan spirit pembuat kebijakan, sedangkan tax avoidance muncul karena ketidaksempurnaan peraturan pajak yang disusun,” jelasnya kepada Bisnis.

Prianto memerinci, ada tiga jenis tax gap di Indonesia. Pertama, nonfiling gap, yaitu ketika wajib pajak tidak melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan sesuai batas waktu.

Kedua, underreporting gap, yakni wajib pajak kurang melaporkan penghasilan atau mencatat biaya pengurang penghasilan lebih besar.

Ketiga, underpayment gap yang terjadi ketika wajib pajak tidak membayar semua utang pajak yang seharusnya dilaporkan.

Menurutnya, dalam kaitan mengatrol tax ratio, pemerintah wajib mempersempit tax gap, yakni dengan merumuskan peraturan yang mono semantik atau satu makna.

“Dengan demikian, potensi ambiguitas dan multiinterpretasi dapat diminimalkan,” ujarnya.

Editor : Tegar Arief