TINDAK LANJUT AMNESTI PAJAK : Ditjen Pajak Agresif Berburu

20 May 2019

Bisnis Indonesia  Senin, 20/05/2019 02:00 WIB

Bisnis, JAKARTA — Kinerja penerimaan yang terus terkontraksi dan tumbuh di bawah pertumbuhan alamiah membuat otoritas pajak menjadi agresif dalam melakukan penyisiran kepada wajib pajak tanpa pandang bulu.n

Berdasarkan informasi yang diperoleh Bisnis, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak mulai menyisir data wajib pajak (WP) yang tak sesuai dengan surat pemberitahuan (SPT) maupun surat pernyataan harta (SPH) sewaktu pelaksanaan pengampunan pajak atau tax amnesty.

Tak tanggung-tanggung, data yang disasar bukan hanya data WP yang memiliki harta jumbo, tetapi harta-harta yang notabene berada di bawah Rp1 miliar juga tak luput dari sasaran otoritas pajak.

Temuan Bisnis di lapangan, mengonfirmasi praktik ‘perburuan’ yang menyasar WP memiliki harta di bawah Rp1 miliar saat ini masih berlangsung. Praktik ini diungkapkan oleh salah satu WP yang sempat dipanggil oleh petugas pajak dari salah satu Kantor Pelayanan Pajak (KPP).

WP tersebut awalnya dimintai keterangan soal harta yang berada pada kisaran Rp500 jutaan, yang menurut versi Ditjen Pajak belum disertakan dalam laporan harta pengampunan pajak.

Singkat kata, petugas pajak di KPP itu sempat menyebutkan bahwa kalau tidak dideklarasikan, bisa dikenakan pajak hingga Rp50 juta. Petugas pajak tersebut juga secara gamblang memperlihatkan ‘daftar buruan lainnya’ yang harus dipanggil ihwal kepemilikan harta yang belum dilaporkan atau dideklarasikan saat pengampunan pajak 2 tahun lalu.

Adapun informasi yang dihimpun Bisnis di internal Ditjen Pajak, proses perburuan WP tak patuh itu merupakan konsekuensi pelaksanaan PP No. 36/2017 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Tertentu Berupa Harta Bersih yang Diperlakukan atau Dianggap Sebagai Penghasilan, disebut sebagai senjata utama bagi pemerintah untuk membuat kapok WP tak patuh.

Merujuk ke mekanisme PP No. 36/2017, setiap harta yang belum dilaporkan atau dideklarasikan saat pelaksaan pengampunan pajak, jika ditemukan oleh otoritas pajak, maka harta tersebut akan dianggap sebagai penghasilan. Atas penghasilan tersebut, harta itu akan dikenakan PPh final dengan tarif bagi WP Badan sebesar 25%, WP orang pribadi sebesar 30%, dan WP tertentu 12,5%.

Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Ditjen Pajak Yon Arsal tak memungkiri bahwa Ditjen Pajak telah menerapkan PP 36/2017. Namun demikian, menurutnya, hal itu bukan sesuatu yang luar biasa. Pasalnya, penerapan kebijakan tersebut sudah menjadi konsekuensi pascapelaksanaan tax amnesty.

“Data-data itu memang sudah ada di KPP, jadi itu biasa dilakukan,” kata Yon kepada Bisnis, Kamis (16/5).

Tak hanya itu, Yon juga mengugkapkan bahwa dalam pelaksanaan PP 36/2016, otoritas tak pernah memandang berapa jumlah harta yang dimiliki oleh wajib pajak. Selain di PP tersebut tidak diatur batas minimum harta, aturan itu hanya memberi batasan, harta yang tidak dideklarasikan atau tidak dilaporkan yang kemudian ditemukan oleh petugas akan dianggap sebagai penghasilan.

“Yang penting dicocokan dengan data di kami. Tak ada kecil atau besar,” ungkapnya.

KESESUAIAN DATA

Hanya saja, Yon menyebutkan bahwa langkah yang dilakukan oleh otoritas pajak tersebut semata-mata untuk mengejar kepatuhan wajib pajak. Ditjen Pajak juga tak akan langsung memeriksa WP, pemanggilan oleh petugas KPP tersebut dilakukan oleh petugas pajak untuk mengonfirmasi kesesuaian data milik Ditjen Pajak dengan wajib pajak.

Apalagi, seiring dengan berbagai kemudahan dalam proses mengakses data, misalnya melalui pertukaran informasi keuangan secara otomatis (automatic exchange of information/AEoI) yang pada tahun lalu terdapat informasi sebesar Rp1.300 triliun atau data dari pihak ketiga yang makin optimal, proses pencocokan data bisa makin akurat.

Dalam catatan Bisnis, tahun lalu ototitas pajak telah mengindentifikasi 274,4 juta data prioritas dari pihak ketiga. Data prioritas yang terindentifikasi merupakan data yang diyakini kebenaran identitasnya sesuai dengan masterfile WP atau data referensi yang dimiliki Ditjen Pajak.

Dengan demikian, atas subjek pajak tersebut dapat dilakukan tindakan pengawasan lebih lanjut baik dalam bentuk intensifikasi atau ekstensifikasi. “Tapi enggak langsung jadi penerimaan juga, data itu harus dicocokan lagi,” tegas Yon.

Partner DDTC Fiskal Research Bawono Kristiaji menyebutkan dengan pertumbuhan penerimaan pajak year-on-year hingga April 2019 yang masih jauh dari target pertumbuhan sekitar 19%, agaknya ada beberapa hal yang memang perlu dipertimbangkan.

Pertama, meninjau kembali keperluan untuk revisi target penerimaan pajak yang pada 2019 dipatok Rp1.577 triliun. Hal ini diperlukan karena kalau melihat realisasi 4 bulan pertama yang berada pada angka 24%, polanya mirip dengan pola realisasi selama 2015-2018 yang notabene target tidak tercapai pada tahun-tahun tersebut.

“Apalagi dengan adanya upaya mendorong daya saing ekonomi yg artinya merelaksasi sistem pajak,” jelasnya.

Kedua, dengan kondisi itu otoritas memang mau tidak mau harus ada upaya untuk penegakan hukum melalui optimalisasi kepatuhan melalui pemanfaatan data tax amnesty, AEoI, dan data-data lain yang diperoleh dari pihak ketiga.

Menurutnya, penegakan hukum pajak prinsipnya bersifat sama dan setara. Artinya yang tidak patuh harus diberikan tindakan sesuai dengan ketentuan perpajakan.

“Sedangkan yang selama ini patuh justru harusnya diberikan kemudahan dan pelayanan yang optimal. Inilah prinsip compliance risk management yang jadi standar di banyak negara,” ujarnya.