KEBIJAKAN PM ABE : Kenaikan Pajak Jepang Berpotensi Ditunda

20 May 2019

Bisnis Indonesia  Senin, 20/05/2019 02:00 WIB

Bisnis, JAKARTA — Tanda-tanda melemahnya ekonomi Jepang memicu kekhawatiran di antara beberapa anggota parlemen partai yang berkuasa bahwa negara itu belum siap mengatasi wacana kenaikan pajak penjualan pada Oktober.

Perdana Menteri Shinzo Abe telah menunda kenaikan pajak penjualan dari 8% menjadi 10% sebanyak dua kali dan ada spekulasi bahwa dia bisa berubah pikiran lagi menjelang pemilihan anggota dewan yang dijadwalkan pada Juli.

Kinerja ekonomi Jepang kuartal terakhir adalah faktor yang dapat mempengaruhi keputusan Abe, dengan data produk domestik bruto (PDB) yang akan diumumkan pada Senin (20/5), diperkirakan menunjukkan kontraksi.

“20 Mei adalah hari penentu. Jika PDB negatif, saya pikir penilaiannya akan sangat berubah. Di sisi lain, jika nol atau bahkan sedikit positif, mungkin sangat sulit untuk menunda ,” kata Shigeharu Aoyama, seorang anggota parlemen dari Partai Demokrat Liberal, seperti dikutip melalui Bloomberg, Minggu (19/5).

Jepang secara bertahap meningkatkan pajak penjualan untuk mengendalikan utang yang membengkak dengan nilai yang terbesar di antara negara maju lainnya.

Sebagian besar utang negara dipicu oleh biaya jaminan sosial yang bergerak lurus dengan dengan kenaikan jumlah populasi yang menua.

Pihak yang mendukung kenaikan pajak mengatakan bahwa penundaan lebih lanjut akan berisiko penurunan peringkat kredit, sedangkan pihak lawan bersikukuh kebijakan ini akan merusak ekonomi.

Menurut Aoyama, ini bukan waktu yang tepat untuk menaikkan pajak dengan dampak dari perang dagang AS-China dan meningkatnya ketegangan di Timur Tengah yang diperkirakan mempengaruhi ekonomi domestik.

Indeks koinsiden Jepang yang dirilis pada Senin (13/5), salah satu indikator terluas dari kegiatan ekonomi saat ini, menggambarkan kondisi yang memburuk untuk pertama kalinya dalam 6 tahun terakhir, bahkan mengindikasikan peluang resesi bagi ekonomi terbesar ketiga dunia tersebut.

“Secara obyektif, lebih masuk akal untuk menunda pajak penjualan. Ini pasti akan membebani konsumsi,” kata Aoyama.

Sementara itu, partai-partai oposisi Jepang menyerukan penundaan kenaikan, beberapa anggota koalisi yang berkuasa bersedia untuk secara terbuka untuk menyatakan hal yang sama sambil menunggu pemerintah menyusun anggaran dengan asumsi kenaikan pajak berlanjut.

Sebagian dari pendapatan pajak akan dialokasikan untuk memenuhi janji pemerintah seperti membuat program gratis perawatan anak umur prasekolah.

Sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh surat kabar Nikkei awal Mei menemukan kenaikan suara menjadi 52% di mana responden menentang kenaikan pajak, dibandingkan dengan 47% dalam survei Maret.

Adapun ada sekitar 41% suara yang setuju, turun dari 45% pada polling sebelumnya.

Shouji Nishida, anggota parlemen demokrat lainnya yang secara terbuka menentang kenaikan pajak, mengatakan bahwa menaikkan pajak sebelum Jepang dapat menghapus risiko deflasi sangat tidak mungkin.

Nishida adalah pendukung Teori Moneter Modern, yang berpendapat bahwa negara-negara yang bank sentral sendiri dan meminjam dalam mata uang mereka sendiri tidak dapat bangkrut, dan tidak perlu khawatir tentang pengeluaran berlebihan selama tidak menghasilkan inflasi yang tinggi.

“Jika Anda memahami hal ini, Anda akan menyadari bahwa tidak benar untuk mengatakan Jepang dalam krisis fiskal,” kata Hiroshi Ando, anggota Partai Demokrat yang juga mendukung Teori Moneter Modern.