Ada Perbedaan Pajak antara Pesangon dan DPLK jika Kena PHK, Berapa?
16 June 2020
Bisnis.com 16 Juni 2020 | 16:52 WIB
Bisnis.com, JAKARTA — Terdapat perbedaan tarif pajak antara pembayaran pesangon dan manfaat pensiun melalui Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) yang dikenakan kepada perusahaan jika melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
VP Head of Pension DPLK Avrist Firmansyah menjelaskan bahwa dalam kondisi pandemi virus corona ini terjadi gelombang PHK, seiring tersendatnya aktivitas perekonomian. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan telah terdapat 2,7 pekerja yang mengalami PHK selama masa pandemi.
Firmansyah pun mengamini pernyataan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) bahwa terdapat banyak perusahaan yang berada dalam posisi terjebak. Mereka tidak bisa melakukan PHK karena tidak memiliki cukup uang untuk membayar pesangon, tetapi juga kesulitan untuk membayar gaji sehingga para pekerja dirumahkan.
Menurutnya, kondisi tersebut menjadi momentum bagi perusahaan-perusahaan untuk melakukan pengelolaan dana pensiun karyawannya melalui DPLK. Salah satu manfaat yang bisa diperoleh perusahaan, jika menggunakan DPLK, adalah pengenaan tarif pajak yang lebih rendah.
“Ada perbedaan tarif pajak manfaat pensiun antara DPLK dan pesangon. Tarif pajak bagi [manfaat pensiun] DPLK itu mencapai 5 persen, sehingga dengan hasil perhitungan [manfaat pensiun] yang sama, manfaat yang diperoleh pekerja akan lebih besar,” ujar Firmansyah pada Selasa (16/6/2020).
Hal tersebut diatur dalam dua regulasi, pertama yakni Peraturan Pemerintah (PP) tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon Uang Manfaat Pensiun Tunjangan Hari Tua Dan Jaminan Hari Tua Yang Dibayarkan Sekaligus.
Regulasi kedua yang mengaturnya adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 16/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Pemotongan PPh Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua Yang Dibayar Sekaligus.
Firmansyah menjelaskan bahwa jika manfaat pensiun yang diterima peserta kurang dari sama dengan Rp50 juta, maka tidak terdapat pajak yang perlu dibayarkan. Jika manfaat pensiun itu berkisar Rp50 juta-Rp100 juta maka pajaknya sebesar 5 persen, baik bagi pesangon maupun manfaat pensiun.
Perbedaan muncul dalam nominal yang lebih besar. Jika manfaat pensiun pekerja Rp100 juta–Rp500 juta, pajak yang dikenakan terhadap pembayaran melalui pesangon sebesar 15 persen, sedangkan jika melalui DPLK tetap sebesar 5 persen.
Adapun, jika manfaat pensiun yang harus dibayarkan kepada pekerja berada di atas Rp500 juta, terdapat pajak 25 persen jika dibayarkan melalui pesangon dan hanya 5 persen jika dibayarkan melalui DPLK. Menurut Firmansyah, terdapat selisih 20 persen dana yang akan diterima pekerja jika pembayarannya melalui DPLK.
“Sehingga bisa dikatakan, dengan adanya program pensiun ini perusahaan tidak ada program tambahan. Misalnya manfaat pensiun yang harus dibayarkan sama-sama Rp500 juta, tetapi pekerja akan menerima lebih besar jika melalui program pensiun DPLK karena pajaknya lebih sedikit,” ujarnya.
Firmansyah menjelaskan bahwa berdasarkan Statistik Dana Pensiun Otoritas Jasa Keuangan (OJK), baru terdapat sekitar 6,01 persen pekerja Indonesia yang menjadi peserta dana pensiun. Bahkan, dia menjabarkan data yang dipublkasikan Bloomberg bahwa hanya 16 persen perusahaan terbuka di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang memiliki aset dana pensiun, baik DPLK maupun nonDPLK.
Hal tersebut menurtnya menjadi cerminan bahwa kepesertaan dana pensiun masih potensial untuk terus ditingkatkan. Perusahaan-perusahaan dinilai harus mulai mempertimbangkan pengelolaan dana pensiun, karena ada atau tidak ada pandemi virus corona, para pekerja sudah pasti akan memasuki masa pensiun.