Alasan Pemerintah Ampuni Pendosa Pajak Lagi

08 October 2021

CNN Indonesia | Jumat, 08/10/2021

Jakarta, CNN Indonesia — Menteri Keuangan Sri Mulyani membeberkan alasan pemerintah kembali membuka kesempatan kedua pengampunan pajak atau tax amnesty pada tahun depan. Sebelumnya, pengampunan pajak pertama kali dilaksanakan pada 2016 silam.
Menurut dia, program pengungkapan sukarela ini bertujuan untuk mempersempit probabilitas wajib pajak atau pengusaha menghindari pajak. Adapun batas pengakuan pajak ini akan berlangsung selama enam bulan atau hingga Juli 2022.

Aturan terkait tax amnesty jilid II ini akan berlaku mulai Januari 2022 hingga Juni 2022 atau selama 6 bulan. Hal ini tertuang dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan DPR RI hari ini, Kamis (7/10).

“Program pengampunan pajak akan diperkuat untuk mempersempit kemungkinan probabilitas masyarakat, wajib pajak, atau pengusaha bisa melakukan apa yang disebut penghindaran pajak,” ucap Ani, akrab sapaannya saat konferensi pers daring, Kamis (7/10) malam.

Ani menambahkan pemerintah memberikan satu kesempatan lagi kepada WP yang belum mendeklarasikan objek pajaknya sebelum pemerintah mengenakan sanksi sesuai dengan aturan berlaku.

Dia mengatakan pemerintah membagi skema pengampunan pajak ke dalam dua kelompok, yaitu mereka yang pada 2016 lalu sudah ikut tax amnesty jilid I dan mereka yang belum mengikuti tax amnesty sama sekali.

Untuk mereka yang pernah ikut pengampunan pajak I bisa mendapat tarif PPh Final murah bila berkomitmen menginvestasikan dananya di Indonesia. PPh Final sebesar 11 persen dikenakan untuk harta di luar negeri yang tidak direpatriasi ke dalam negeri.

Lalu, 8 persen untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri. Kemudian, 6 persen untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN) dan hilirisasi Sumber Daya Alam (SDA), dan energi terbarukan.

Sedangkan untuk mereka yang baru pertama kali mengikuti skema tax amnesty dan akan mendeklarasikan aset perolehan periode 2016-2020, tarif yang dikenakan adalah 18 persen untuk harta di luar negeri yang tidak direpatriasi ke dalam negeri.

Lalu, 14 persen untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri, serta 12 persen untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN) dan hilirisasi Sumber Daya Alam (SDA), dan energi terbarukan.