APBN 2023 Jalur Mendaki Pajak Korporasi

19 December 2022

Tegar Arief
Senin, 19/12/2022

Bisnis – Soal setoran pajak, pelaku usaha digadang-gadang dapat memberikan kontribusi yang jauh lebih besar pada tahun depan.

Dengan dalih pemulihan ekonomi yang solid, penawar hawar virus Corona yang mujarab, serta tuntutan tahun konsolidasi, mendorong pemerintah untuk mengatrol target Pajak Penghasilan (PPh) Badan alias pajak korporasi.

Dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 130/2022 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2023, target PPh Badan ditetapkan senilai Rp349,93 triliun.

Apabila dibandingkan dengan target APBN 2022 Perubahan yang terkandung dalam Perpres No. 98/2022 tentang Perubahan Atas Perpres No. 104/2021 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2022, target itu melesat hingga 35,96%.

Memang harus diakui, pemulihan ekonomi sejauh ini memang cukup baik. Itu pun terbukti dari setoran pajak korporasi yang telah melampaui target per akhir Oktober lalu.

Pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun berjalan yang berakhir kuartal III/2022 pun cukup kokoh bertengger di atas pijakan 5% (year-on-year/YoY). Hampir seluruh sektor usaha pun mencatatkan pembalikan dari negatif ke positif.

Akan tetapi perlu diingat, tantangan pada tahun depan tak bisa dibilang ringan. Ketidakpastian ekonomi memuncak yang didorong oleh kenaikan inflasi global sehingga memaksa bank sentral di seluruh negara mengerek suku bunga acuan.

Inflasi dan suku bunga bak momok bagi pelaku usaha. Indeks harga konsumen (IHK) yang tinggi, akan melemahkan daya beli masyarakat. Kondisi itu pada gilirannya menghambat laju konsumsi.

Lantas, konsumsi yang melandai akan berimbas pada performa korporasi dalam menghasilkan cuan. Output manufaktur macet, penjualan produk pun seret. Tak pelak, penghasilan yang dikantongi perusahaan pun terbatas, yang berkorelasi dengan minimnya setoran ke negara.

Pun dengan suku bunga acuan. Kenaikan suku bunga akan membatasi ruang gerak pelaku usaha untuk melakukan ekspansi bisnis lantaran biaya penarikan pinjaman yang makin mahal.

Tak ayal, manuver korporasi untuk melebarkan sayap bisnis terbatas, tak ada pengembangan, dan pastinya pajak yang disetorkan ke negara pun harus kembang kempis.

Apalagi, pemerintah berulang kali menyampaikan bahwa tantangan ekonomi pada tahun depan berubah haluan dibandingkan dengan 3 tahun terakhir.

Sepanjang 2020—2022, ekonomi nasional amat tertekan oleh geombang pandemi Covid-19 dan dampak yang ditimbulkan sehingga membatasi ruang gerak masyarakat dan dunia usaha.

Namun pada 2023, aral lebih disebabkan faktor eksternal yakni kenaikan suku bunga acuan di bank sentral utama seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Eropa yang pasti akan direspons oleh Bank Indonesia (BI).

Kendala lain yang sejatinya masih cukup mengancam bisnis adalah lilitan rantai pasok global yang membatasi output manufaktur atau mengatrol biaya produksi sehingga memberikan daya dukung pada lonjakan inflasi.

“Kondisi ini akan membuat pelambatan dunia usaha,” kata Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani, kepada Bisnis, Minggu (18/12).

Pemangku kebijakan memang memiliki optimisme yang kuat perihal prospek ekonomi pada tahun depan. Hal ini rasanya pun cukup masuk akal, karena bekal yang dimiliki pun amat tebal.

Di antaranya kinerja ekspor yang terus mencatatkan surplus dalam 31 bulan terakhir, pertumbuan ekonomi yang solid, dan impak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang relatif tertangani dengan baik.

Pun dengan pebisnis yang cukup optimistis mengenai daya pemerintah dalam mengelola ekonomi pada tahun konsolidasi. Namun, apabila dibebani dengan target yang cukup menjulang, pengusaha pun masih sangat waswas.

“Dunia usaha akan tetap mengalami pertumbuhan. Tetapi memang tidak seagresif tahun ini,” katanya.

Selain kendala dari eksternal, dari dalam negeri pebisnis juga masih memiliki isu yang menjadi ganjalan dan berpotensi menghalangi kinerja dunia usaha pada tahun depan. Terutama dari sisi politik, hukum, dan keamanan.

Ada dua isu besar yang menjadi sorotan. Pertama, tahun politik menjelang agenda demokrasi 5 tahunan, Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Pebisnis pun acap kali melakukan aksi wait and see setidaknya sejak 2 tahun jelang pemilu.

Terlebih, tensi politik dalam Pemilu 2024 telah muncul sejak tahun ini yang menciptakan ketidakpastian baru bagi dunia usaha. Apalagi, 2024 adalah momentum bagi Indonesia untuk melahirkan pemimpin baru.

Peristiwa klise daam tiap pergantian pemimpin adalah soal kebijakan. Tak ada jaminan bahwa kebijakan yang telah didesan dan dieksekusi Pemerintahan Presiden Joko Widodo sejak 2014 akan dipertahankan.

Kedua, disahkannya Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang untuk pertama kalinya dalam sejarah memuat pasal soal pidana korporasi.

Singkat kata, dalam regulasi baru itu korporasi atau perusahaan alias badan usaha bisa dikenai sanksi atau hukuman apabila terbukti terlibat dalam praktik tindak pidana, baik langsung maupun tidak langsung.

Dalam kaitan ini, kalangan pelaku usaha pun mengapresiasi pemerintah dan DPR yang berjuang mengakomodasi pidana korporasi dalam lingkup aturan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sebelumnya.

Musababnya, hal ini memberikan kepastian hukum dan mendorong kewaspadaan pelaku usaha dalam menjalankan bisnis.

Akan tetapi, di sisi lain kalangan pebisnis pun tengah cemas karena adanya payung hukum justru berisiko menahan eksistensi bisnis karena saking tingginya tingkat kewaspadaan atau ketakutan pelaku usaha.

“Jangan sampai ini menimbulkan ketakutan bagi pelaku usaha dan kemudian memperlambat pergerakan bisnis,” kata Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Anggawira.

Memang, pemerintah dan DPR tidak serta-merta bersikap represif dalam menindak korporasi yang melakukan tindak pidana, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Ada beberapa tahapan dan mekanisme penjatuhan sanksi, yakni pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok dalam konteks ini adalah denda yang wajib dibayar oleh korporasi.

Adapun, pidana tambahan bisa berupa pembayaran ganti rugi, perbaikan akibat tindak pidana, pelaksanaan kewajiban yang telah dilalaikan, pemenuhan kewajiban adat, hingga pembiayaan pelatihan kerja.

Namun demikian, negara masih memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan kepada korporasi dalam rangka memberikan efek jera.

Di antarannya merampas barang atau keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, pengumuman putusan pengadilan, pencabutan izin tertentu, pelarangan permanen melakukan perbuatan tertentu.

Kemudian juga penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan korporasi, pembekuan seluruh atau sebagian kegiatan usaha korporasi, hingga pembubaran korporasi.

Inilah yang kemudian membuat pelaku usaha cemas. Sejalan dengan itu, Anggawira meminta kepada pemerintah dan DPR untuk melakukan sosialisasi lebih gencar mengenai substansi pidana korporasi dalam RUU KUHP ini.

“Ini memang perlu sosialisasi kepada kita pelau usaha, seperti apa dampaknya baik kepada dunia bisnis maupun pengusaha langsung,” harapnya.

Sementara itu, insentif sebagai perangsang utama kegiatan dunia usaha dipastikan jauh lebih ketat pada tahun depan.

Selain karena asumsi dunia bisnis yang telah pulih, keterbatasan ruang fiskal yang dituntut untuk menormalisasi defisit di bawah 3% terhadap produk domestik bruto (PDB) juga memagari kebijakan tebar insentif.

Aroma insentif yang terkonsolidasi itu bukannya tanpa alasan. Musababnya, realisasi penerimaan pajak telah menembus target bahkan sebelum tutup tahun, dan positifnya pertumbuhan seluruh sektor bisnis pada kuartal III/2022.

Sumber Bisnis yang dekat dengan otoritas fiskal mengatakan bahwa kebijakan insentif pada tahun depan akan berkaca pada kondisi dunia usaha per kuartal III/2022.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor, mengatakan ada banyak sektor usaha yang berkontribusi besar pada capaian pajak sejauh ini.

Akan tetapi, pemerintah masih belum memutuskan lini bisnis yang akan mendapatkan pendampingan fiskal pada tahun depan, atau mengenai kemungkinan untuk tak lagi melakukan kebijakan tebar insentif.

“Apakah masih ada sektor usaha yang memerlukan insentif pajak, juga masih dalam analisis direktorat terkait,” kata Neil.

Berkaca pada kendala dan fakta di atas, pemerintah memang dituntut untuk meracik instrumen fiskal yang lebih moderat, yakni memberikan pemanis bagi dunia usaha dengan tanpa mengorbankan target konsolidasi.

Tujuannya adalah agar pebisnis memiliki ruang gerak yang leluasa dalam melakukan ekspansi di tengah kuatnya tarikan gabungan antara resesi dan inflasi.

Tak hanya itu, konsumsi pun patut dijaga agar tetap prima sehingga pengusaha mampu mendulang laba yang tetap terjaga dalam rangka mengamankan penerimaan negara.

Editor : Tegar Arief