ERA EKONOMI DIGITAL : Batas PTKP Diusulkan Naik

27 March 2019

Bisnis Indonesia  Rabu, 27/03/2019 02:00 WIB

Bisnis, JAKARTA — Pemerintah disarankan untuk menaikkan batas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) seiring dengan masifnya perkembangan ekonomi digital.

Ekonom senior Indef Aviliani mengungkapkan, perkembangan teknologi memungkinkan lahirnya berbagai profesi baru dari sektor informal. Saat ini, jelasnya, terdapat banyak profesi informal baru di era digital. Pekerja informal tersebut sangat mungkin membukukan pendapatan yang jauh lebih tinggi ketimbang pekerja formal.

Dia mengumpamakan, Youtuber Atta Halilintar bahkan mampu mengantongi senilai Rp1,1 miliar setiap bulan dari pendapatan iklan melalui video unggahan.

Pendapatan tersebut jauh melampaui batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) senilai Rp54 juta per tahun.

“Artinya jangan dilihat dari sektor formal atau informal. Tapi, perlu dilihat kalau memang termasuk pendapatan kena pajak, harus membayar pajak,” ujarnya dalam Diskusi 100 Ekonom Perempuan di Jakarta, Selasa (26/3).

Menurutnya, porsi pendapatan kena pajak semestinya lebih besar dalam menghadapi era industri 4.0. Penyesuaian PTKP tersebut dapat mendorong kenaikan penerimaan dari pajak penghasilan orang pribadi.

Terlebih, kontribusi penerimaan pajak penghasilan orang pribadi dari masyarakat kelas menengah masih terbilang cukup rendah. Meski masyarakat kelas menengah terus bertambah, tingkat kepatuhan pun belum mencapai 100%.

“Artinya, masyarakat kita kelas menengahnya terus meningkat, tapi kepatuhan membayar pajaknya masih rendah. Ini yang harus ditekankan, dengan era perkembangan teknologi, harusnya kita bisa memperoleh penerimaan pajak yang lebih besar,” ujarnya.

Di pihak lain, Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati menuturkan, pembenahaan sistem administrasi perpajakan harus diprioritaskan terlebih dahulu sebelum melakukan pemangkasan atau revisi aturan PPh.

“Pembahasan ketentuan umum perpajakan harus dilakukan karena itu yang menjadi dasar bagi wajib pajak membayar pajaknya di-rate berapa dan apa sudah berkeadilan atau belum,” kata Enny, Senin (26/3).

Dia mencontohkan PPh badan yang memiliki sektor yang luas sehingga aturannya harus komprehensif sebagai panduan.

Kalau tidak ada aturan atau panduan yang tepat dan pemerintah langsung ‘tebas’ dikhawatirkan memicu moral hazard karena wajib pajak akan memanfaatkan celah untuk membayar pajak serendah mungkin.

“Penerimaan pajak akan makin tidak optimal. Artinya, setiap kebijakan harus disiapkan dulu panduannya, kerangka dan payung hukumnya,” tegas Enny.