TINDAK KEJAHATAN PAJAK : Modus Primitif Mendominasi

27 March 2019

Bisnis Indonesia  Rabu, 27/03/2019 02:00 WIB

Dari jumlah tersebut, modus kejahatan primitif dan konvensional seperti faktur pajak fiktif dan tidak menyetorkan pajak yang dipungut atau dipotong, masih mendominasi.

Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang dirilis bulan ini menunjukkan jumlah transaksi mencurigakan yang diterima lembaga intelijen keuangan tersebut mencapai 21.690 transaksi. Dari jumlah tersebut, transaksi yang terkait dengan dugaan tindak pidana perpajakan mencapai 1.112 transaksi atau 5,1% dari total laporan selama 2018.

Kendati secara persentase relatif kecil, jumlah transaksi terkait dugaan tindak pidana perpajakan mengalami kenaikan sebesar 91,3% dibandingkan dengan 2017 yang hanya 581 transaksi. Jumlah dugaan tindak pidana ini juga lebih tinggi dibandingkan dengan dugaan pidana di sektor perbankan sebesar 886 transaksi per akhir Desember 2018.

Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin menjelaskan, jika mengacu pada temuan berdasarkan Sectoral Risk Assessment (SRA) yang dilakukan oleh PPATK dan Ditjan Pajak, diketahui bahwa tindak pidana perpajakan yang tertinggi yang telah diidentifikasi umumnya terkait faktur pajak fiktif dan wajib pajak (WP) yang tidak menyetorkan pajak yang dipungut atau dipotong.

Meski demikian, Kiagus menjelaskan bahwa jumlah tersebut merupakan indikasi laporan dari pihak pelapor yang harus ditindaklanjuti oleh PPATK melalui serangkaian kegiatan analisis atau pemeriksaan untuk memastikan ada atau tidaknya tindak pidana perpajakan atau tindak pidana pencucian uang (TPPU).

“Jika indikasi tersebut telah ditemukan, hasil analisis atau pemeriksaan akan disampaikan ke Ditjen Pajak untuk diteliti kembali apakah memenuhi unsur-unsur tindak pidana perpajakan,” ungkap Kiagus kepada Bisnis, Selasa (26/3).

PPATK selama 2018 telah mengeluarkan hasil analisis (HA) kepada para penyidik di sejumlah lembaga sebanyak 498 HA dengan rincian hasil analisis proaktif sebanyak 164 HA dan hasil analisis inquiry sebanyak 334 HA.

Khusus dugaan tindak pidana perpajakan, lembaga intelijen keuangan tersebut telah menyerahkan HA ke penyidik perpajakan sebanyak 67 HA atau naik sebanyak 55,8% dibandingkan dengan 2017.

Wakil Kepala PPATK Dian Ediana Rae menambahkan bahwa meningkatnya jumlah Laporan Keuangan Transaksi Mencurigakan (LKTM) dugaan tindak pidana perpajakan tersebut merupakan konsekuensi dari keinginan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak melalui peningkatan kepatuhan pajak. Hal itu juga didukung oleh langkah otoritas pajak dan PPATK yang telah melakukan kerja sama intensif.

Salah satu konsekuensi dari peningkatan eskalasi kerja sama tersebut adalah penajaman klarifikasi terkait indikator-indikator pelanggaran ketentuan pajak pada nasabah bank. Sebagai implikasinya, PPATK berhasil menangkap secara lebih dini potensi pelanggaran pada wajib pajak sehingga terjadi peningkatan LKTM.

“ ini bisa dimulai dari tindak pidana pajak dan kami lakukan pendalaman di PPATK,” jelasnya.

Direktur Penegakan Hukum Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Yuli Kristiyono mengungkapkan bahwa meski naik, pihaknya mengklaim hal itu tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk menyatakan peningkatan tindak pidana perpajakan. Pasalnya, ada kemungkinan transaksi yang teridentifiksi tersebut tidak sesuai dengan profil wajib pajak.

UJI KEPATUHAN

Oleh karena itu, data atau hasil analisis yang disampaikan oleh PPATK tersebut akan digunakan untuk menguji kepatuhan WP. Apabila, data transaksi tersebut sudah disampaikan dalam surat pemberitahuan atau SPT maka dari aspek perpajakan dinyatakan tidak ada masalah. Akan tetapi, jika yang terjadi sebaliknya, konsekuesnsi sesuai dengan ketentuan perpajakan akan dilakukan otoritas pajak.

“Tergantung dilaporkan belum dalam SPT. Untuk tahun lalu, penyidikan terkait pidana pajak yang sudah lengkap sebanyak 127 kasus,” imbuhnya.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengungkapkan bahwa peningkatan jumlah transaksi mencurigakan yang terkait dengan dugaan tindak pidana perpajakan menunjukkan peran PPATK dalam mengidentifikasi kasus-kasus terkait perpajakan sangat strategis.

Menurut Prastowo, tindak pidana perpajakan merupakan predicat crime dari tindak pidana pencucian uang (TPPU). Dengan peran dari PPATK yang mampu mengidentifikasi jumlah rekening atau transaksi-transaksi yang dianggap tidak wajar, ditambah dengan peran Ditjen Pajak, bukan tidak mungkin peran lembaga tersebut dalam mengatasi kejahatan perpajakan lintas negara akan makin efektif.

“Pidana perpajakan adalah predicat crime untuk TPPU, jadi sinergi sangat mungkin dilakukan,” kata Prastowo, Selasa (26/3).

Namun demikian, Prastowo menyoroti dominasi kasus yang masih terdiri dari kasus-kasus konvensional misalnya faktur fiktif dan perilaku WP yang tidak menyetorkan pajak yang dipungut dan dipotong. Sebagai sebuah kejahatan yang sudah sangat lazim dan terkesan primitif, seharusnya jenis kejahatan tersebut bisa diatasi.

“Nah ini kan modus primitif dan konvensional, seharusnya bisa sudah bisa diatasi,” jelasnya.

Dengan kompleksitas dunia perpajakan, ke depan sinergi antara Ditjen Pajak dan PPATK harus lebih kuat. Peningkatan kompetensi dan koordinasi antara dua lembaga ini, jelasnya, akan efektif untuk mengidentifikasi kejahatan perpajakan yang dilakukan oleh WP melalui transaksi keuangan.