HISTORIA BISNIS, Kritik Berulang tentang Kesenjangan di Perpajakan

08 October 2021

BisnisIndonesia, Anggara Pernando, Jum’at, 08/10/2021 02:00 WIB

Kementerian Keuangan di bawah pimpinan Sri Mulyani dan DPR RI telah menyepakati Rancangan Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Salah satu aturan dari beleid pengaturan pajak terbaru ini adalah semakin kaya warga negara, maka pajak yang dibayarkannya semakin mahal.

Semangat pengenaan pajak lebih tinggi bagi orang yang semakin kaya ini tidak hanya terjadi saat ini, namun setiap kali undang-undang pajak disusun. Bisnis Indonesia edisi 6 Oktober 1994 juga menyoroti aturan dalam revisi undang-undang perpajakan itu.

Diturunkan dalam tajuk ‘Wajar Orang Kaya Kena Pajak Tinggi…’ menyebutkan pemerintah dan DPR harus memperhitungkan prinsip equality dalam menyusun Undang-Undang Pajak.

Disebutkan dalam edisi 27 tahun lalu itu, pengenaan tarif pajak terhadap wajib pajak seharusnya lebih adil dan proporsional.

Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) saat itu, Aries Gunawan mengatakan beberapa hal yang perlu diperhatikan pemerintah dan DPR dalam menyusun Undang-Undang Pajak yang masih menggelisahkan masyarakat.

“Hal itu, misalnya mengenai batas waktu kadaluarsa penagihan pajak lima tahun yang sudah dirasakan berat. Jangan ditambah lagi menjadi 10 tahun. Masyarakat kan justru menginginkan batas waktu dikurangi saja,” katanya kepada Bisnis dalam wawancara 27 tahun lalu.

Dia menilai UU Perpajakan yang baik paling sedikit memuat empat unsur. Pertama, equality (kesamaan). Maksudnya agar setiap WP yang keadaannya sama harus dibebani tarif pajak yang sama pula.

Kedua, certainty (kepastian). Segala hal harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang pasti dan jelas. Tidak ada pihak tertentu yang bisa memungut pajak jika tidak ada di Undang-undang.

Selanjutnya ketiga, convenience (kemudahan). Orang yang dikenakan pajak haruslah mereka yang benar-benar memiliki uang atau penghasilan.

“Orang yang sudah tidak mempunyai penghasilan jangan dibebani pajak lagi. Jadi conviniency itu untuk wajib pajak. Jangan sebelum berpenghasilan diharuskan membayar pajak. Jangan pula pada akhir tahun setelah dia memiliki penghasilan masih ditarik pajak. Kenyamanan ditarik pajak itu dilakukan saat WP masih mampu,” kata Aries.

Keempat, efficiency, yaitu biaya pemungutan pajak hendaknya lebih kecil ketimbang pajak yang mau dipungut.

Dalam hal ini, keempat unsur itu menurut Aries sudah dipenuhi oleh undang-undang yang saat itu berlaku, namun unsur equality harus lebih ditekankan lagi agar lebih tercipta keadilan di kalangan masyarakat.

Sebaiknya, kata Aries, dilakukan pembedaan lapisan tarif penghasilan kena pajak (PKP) wajib pajak (WP) perseorangan dan badan usaha. Sebab pada penghasilan WP, secara pribadi tidak banyak yang bisa dikurangkan, sedangkan pada badan usaha masih banyak dana yang bisa dikurangkan. Hal ini misalnya dari forward loss dan biaya yang memang masih dapat dikurangkan.

Di luar negeri, lanjutnya, WP Perorangan dikenakan pajak dengan tarif yang jauh berbeda dari tarif pajak badan usaha. Dia menilai wajar bila orang kaya dikenai tarif hingga 50 persen.

Besarnya penghasilan perseorangan tidak akan sama dengan penghasilan bentuk badan usaha yang miliaran. Penghasilan orang yang disebut kaya paling besar hanya miliaran tapi badan usaha besar bisa ratusan miliar hingga triliun per tahun.

POIN-POIN RUU HUP

Sementara itu, Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR menyepakati pengesahan Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau HPP pada 2021 menjadi Undang-Undang.

Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar menetapkan hal tersebut dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021–2022, Kamis (7/10/2021). Salah satu agenda rapat adalah Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan terhadap RUU HPP.

Setelah mendapatkan restu dari Komisi XI, draft RUU HPP naik ke rapat paripurna bersama sejumlah agenda pembahasan lainnya. Mayoritas fraksi di DPR menerima draf itu sehingga RUU HPP resmi akan menjadi undang-undang (UU).

Sebelumnya, Menkeu Sri Mulyani mengatakan bahwa rancangan beleid ini juga hadir pada saat yang tepat. Pemerintah, kata dia, berkomitmen untuk kembali mewujudkan APBN yang sehat dengan defisit di bawah 3 persen pada tahun 2023.

“Untuk mewujudkan hal tersebut, disamping kami akan terus melakukan perbaikan dari sisi belanja dengan spending better, Pemerintah juga harus mengoptimalkan penerimaan negara, sehingga tujuan dan target pembangunan tidak dikorbankan,” kata Sri.

Mantan Direktur Eksekutif Bank Dunia itu mengatakan rancangan aturan baru ini mencakup sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum, serta melaksanakan reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif, dan perluasan basis perpajakan. Selain itu, RUU ini diharapkan juga akan terus meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak.

Undang-undang ini diharapkan menjadi payung reformasi administrasi perpajakan yang saat ini dilakukan oleh pemerintah, melalui implementasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai NPWP untuk Wajib Pajak orang pribadi.

Payung ini juga akan memperkuat posisi Indonesia dalam kerjasama internasional, dan memperkenalkan ketentuan mengenai tarif PPN final.

Dalam pernyataan tertulisnya itu, Sri juga menyatakan perluasan basis pajak, sebagai faktor kunci dalam optimalisasi penerimaan pajak. Pengaturan kembali tarif PPh orang pribadi dan badan, penunjukan pihak lain untuk melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak, pengaturan kembali fasilitas PPN, kenaikan tarif PPN, implementasi pajak karbon dan perubahan mekanisme penambahan atau pengurangan jenis Barang Kena Cukai.

“ memberikan manfaat dalam membangun sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel untuk menjaga kepentingan Indonesia hari ini dan ke depan. Implementasi berbagai ketentuan yang termuat dalam RUU tersebut diharapkan akan berperan dalam mendukung upaya percepatan pemulihan ekonomi dan mewujudkan perekonomian yang berkelanjutan,” tutup Sri.