PENGESAHAN RUU HPP, Kala Pengusaha Dimanja Penguasa

08 October 2021

BisnisIndonesia, Tegar Airef, Jum’at, 08/10/2021 02:00 WIB

Tak bisa disangkal, Rancangan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan memberikan privilese kepada pengusaha. Di sisi lain, masyarakat kelas bawah semakin terimpit lantaran tarif pajak konsumsi yang melejit.

Kemarin, DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) menjadi undang-undang. Dengan pengesahan itu, seluruh substansi siap diimplementasikan setelah ditandatangani Kepala Negara. Namun, ketidakadilan terpampang dalam undang-undang tersebut.

Di satu sisi, pelonggaran dan penghapusan substansi menguntungkan pengusaha tetapi di sisi lain daya beli masyarakat kecil tergerogoti sejalan dengan naiknya tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Keberpihakan penguasa terhadap pengusaha itu tecermin dari penghapusan sejumlah pasal strategis. Pertama, pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) minimum atau Alternative Minimum Tax (AMT) sebesar 1% untuk perusahaan yang merugi selama 5 tahun berturut-turut.

Kedua, dianulirnya General Anti Avoidance Rule (GAAR), ketentuan antipenghindaran pajak untuk mencegah transaksi yang dilakukan oleh wajib pajak dengan tujuan penghindaran atau tidak mencakup substansi bisnis.

Ketiga, tenggelamnya substansi yang mengatur tentang tindak pidana perpajakan bagi Wajib Pajak Badan alias korporasi. Sebelumnya, ketentuan ini tertuang secara detail di dalam Pasal 39B RUU HPP.

Keempat, pelonggaran sanksi administrasi yang ditetapkan memiliki kurang bayar pajak, yang hanya mengacu pada tarif bunga, bukan dari PPh yang tidak atau kurang bayar dalam 1 tahun pajak sebagaimana selama ini berlaku.

Kemudian juga pengurangan sanksi denda jika keberatan serta permohonan banding wajib pajak ditolak atau dikabulkan sebagian.

Kelima, pelonggaran tarif untuk Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak (PPSWP) atau repatriasi harta. Klausul ini sekaligus mengonfirmasi bahwa pemerintah menyiapkan program pengampunan pajak atau tax amnesty sebagaimana dilakukan 2016. Hanya saja, program disajikan dengan nama yang berbeda.

Dalam PPSWP, pemerintah menetapkan tarif PPh atas harta di kisaran 6%—11%. Faktanya, tarif awal yang diusulkan oleh pemerintah jauh lebih tinggi yakni 12,5%—30%.

Pelaku usaha memang mendapatkan beban tambahan yang berasal dari pembatalan relaksasi tarif PPh Badan pada tahun depan sebesar 20%. Di dalam RUU HPP, tarif pajak untuk korporasi ditetapkan sebesar 22%.

Dibandingkan dengan serangkaian relaksasi yang diberikan, selisih 2% dari tarif PPh badan itu rasanya masih cukup enteng.

Privilese yang diberikan oleh penguasa kepada pelaku usaha pun diamini oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly yang mewakili pemerintah dalam Sidang Paripurna di DPR.

Menurutnya, pembatalan AMT dan GAAR dilandasi oleh besarnya kebutuhan pelaku usaha untuk meningkatkan keleluasaan bisnis di tengah pemulihan ekonomi dari dampak pandemi Covid-19.

“ tidak mencantumkan AMT dan GAAR agar kondisi kegiatan usa­­ha dan iklim investasi tetap kon­du­sif,” kata Yasonna, Kamis (7/10).

Menurut Yasonna, pemerintah tetap melakukan berbagai langkah untuk mengantisipas praktik penghindaran pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan perjanjian internasional kendati kedua substansi itu dibatalkan.

Dia menambahkan, RUU ini disusun dengan mengakomodasi seluruh masukan dari kelompok masyarakat. Di sisi lain, misi reformasi perpajakan juga menjadi prioritas di tengah seretnya kinerja penerimaan pajak.

Keberpihakan RUU HPP terhadap pengusaha juga disampaikan oleh Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Menurutnya, RUU itu memberikan keleluasaan kepada pengusaha sehingga memiliki kontribusi yang besar terhadap pemulihan ekonomi.

“Diharapkan perubahan ini memberikan banyak ruang bagi para pengusaha,” kata Airlangga.

Di tengah keberpihakan kepada pengusaha itu, pemerintah dan DPR justru menelurkan kebijakan yang membebani kelompok menengah ke bawah dengan mengerek tarif PPN atau pajak atas konsumsi.

Per April tahun depan, tarif PPN ditetapkan sebesar 11% dan kemudian menjadi 12% pada 2025. Hal ini dipastikan menggerus daya beli yang kini tengah gontai akibat diterjang gelombang pandemi Covid-19.

Kendati kebutuhan pokok tetap mendapat pengecualian, kebijakan ini tetap saja berisiko menggerus konsumsi rumah tangga, pendorong utama pertumbuhan ekonomi nasional.

GERUS EKONOMI

Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Indef Ahmad Heri Firdaus menilai kenaikan tarif PPN menjadi 11% berpotensi menggerus pertumbuhan ekonomi sebesar 0,02%.

Sejalan dengan itu, upah riil juga berisiko mengalami penurunan hingga 6,2%. Hal ini karena tingkat inflasi yang diperkirakan meningkat sebesar 0,4%. “Kalau upah riil turun, maka akan mendorong penurunan konsumsi,” kata dia.

Ahmad memprediksi tingkat konsumsi masyarakat berpotensi turun hingga 2,05%, sedangkan secara rata-rata tingkat konsumsi di seluruh kelompok pendapatan akan turun sebesar 2%.

Di samping itu, kenaikan tarif PPN juga akan menurunkan pendapatan sekitar 5% secara rerata di seluruh kelompok rumah tangga.

Sesungguhnya, tidak salah apabila pemerintah memanja pelaku usaha. Toh kalangan pebisnis memang memiliki peran yang vital untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Namun, lebih bijak jika sikap man­ja itu juga diberikan kepada ma­sya­rakat kelas menengah ke­ ba­­wah, yang kini dilanda ke­­ce­­mas­an akibat lesunya sen­di eko­no­mi, terutama sektor in­for­mal.