PENGESAHAN UU HPP, Target Pajak Ambisius

08 October 2021

BisnisIndonesia, Tegar Arief, Jum’at, 08/10/2021 02:00 WIB

Bisnis, JAKARTA — Prospek pertumbuhan penerimaan pajak yang disusun oleh pemerintah pada tahun depan cukup fantastis, yakni mencapai 19,6%. Target ambisius ini didasari implementasi Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat.n

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, implementasi Undang-undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) akan meningkatkan penerimaan pajak menjadi Rp1.401,3 triliun pada tahun depan.

Angka tersebut melejit hingga 19,6% dibandingkan dengan prediksi penerimaan pajak pada tahun ini yang ditetapkan senilai Rp1.171,6 triliun.

Sasaran pajak pada tahun depan tersebut juga melonjak hingga 10,77% dibandingkan dengan target yang tertuang di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 yakni senilai Rp1.265 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam bahan paparan yang diperoleh Bisnis berasumsi, outlook penerimaan pajak pada tahun ini dan tahun depan mengacu pada realisasi sampai dengan Agustus 2021 yang mencapai Rp741,3 triliun.

Capaian per Agustus itu memang di luar ekspektasi mengingat pada awal kuartal III/2021 pemerintah mengetatkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang berisiko pada tersendatnya ekonomi dan terpangkasnya setoran pajak.

Kendati realisasi hingga Agustus 2021 cukup moncer, mematok target pertumbuhan penerimaan pajak sebesar 19,6% memang cukup ambisius.

Alasannya, pertumbuhan itu jauh melampaui kenaikan secara alamiah. Sekadar informasi, pertumbuhan alamiah pajak berada pada kisaran 8% dengan catatan ekonomi melesat hingga 5% dan inflasi sebesar 3%.

Angka kenaikan alamiah itu pun dengan mempertimbangkan upaya ekstra yang dilakukan oleh otoritas pajak dalam mengumpulkan pundi-pundi penerimaan.

Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono berpendapat target yang ditetapkan oleh pemerintah itu penuh dengan asumsi. Sebab dibandingkan dengan data historis angka tersebut terlampau tinggi.

“Semuanya berdasarkan asumsi dan memang terlihat besar sekali penambahannya, tetapi kita belum tahu rincian dari penerimaan pajak itu terdiri dari apa saja,” kata dia kepada Bisnis, Kamis (7/10).

Prianto menghitung pertumbuhan penerimaan pajak secara alamiah atau dengan memperhitungkan realisasi penerimaan per Agustus 2021 dan prospek ekonomi pada tahun depan hanya berada di kisaran 6,81%.

Adapun, jika menggunakan asumsi implementasi UU KUP ditemukan pertumbuhan sebesar 16,67%. Namun, hal ini masih belum mempertimbangkan perincian target dari masing-masing jenis pajak.

Persoalannya, tidak seluruh substansi yang ada di dalam UU HPP akan diimplementasikan per 1 Januari 2022.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan tarif 11% misalnya, yang menurut regulasi tersebut baru akan diterapkan pada 1 April tahun depan. Artinya selama Januari—Maret 2022 PPN masih menggunakan tarif lama sebesar 10%.

“Kalau dilihat dari isi UU HPP, memang kontribusi terbesarnya ada di PPN karena objeknya diperluas dan tarifnya ditingkatkan,” ujarnya.

Sementara itu berdasarkan penghitungan Bisnis, potensi penerimaan pajak pada tahun ini senilai Rp1.134,3 triliun.

Angka itu dihitung dengan menggunakan asumsi penerimaan selama September—Desember 2021 yang tidak jauh beda dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Hal itu mengacu pada belum maksimalnya pemulihan ekonomi yang sejak tahun lalu rontok akibat serangan Covid-19.

Dengan mengacu pada data tersebut, maka pertumbuhan penerimaan pajak pada tahun depan saat UU HPP diimplementasikan mencapai 23,53%.

Pakar Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji menjelaskan secara umum kehadiran UU HPP menjadi salah satu solusi untuk mengantisipasi rendahnya tax ratio atau rasio pajak di Indonesia, khususnya di era pascapandemi.

Proyeksi pertumbuhan sebesar 19,6% itu memperlihatkan optimisme pemerintah terkait adanya lompatan penerimaan pajak seiring dengan ekonomi yang kian pulih.

Namun, Bawono menilai pemerintah perlu berhati-hati dalam memandang proyeksi pertumbuhan tersebut.

FAKTOR RISIKO

Menurutnya, ada tiga faktor yang berisiko menghambat pungutan oleh negara. Pertama bayang-bayang risiko pola positivity rate dan skenario pengendalian Covid-19 yang perlu dilola dengan baik.

“Jika belum bisa dikelol dengan baik, maka akan terdapat tekanan terhadap aktivitas ekonomi, yang kemudian berdampak bagi penerimaan pajak,” kata Bawono.

Kedua, terdapat beberapa klausul yang dalam draf awal RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yakni versi awal dari Undang-Undang HPP, yang bisa menjadi andalan justru dimodifikasi atau tidak diberlakukan.

“Ketiga perlu juga ditinjau dari ketersediaan ketentuan teknis, sejauh mana hal tersebut dapat diadministrasikan dengan baik, serta pemahaman dari wajib pajak,” jelasnya.

Sementara itu, Direktur Penyuluhan Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor mengatakan UU HPP bertujuan meningkatkan kepatuhan wajib pajak yang masih rendah.

Selain itu juga menutup celah praktik-praktik erosi perpajakan, instrumen untuk mewujudkan keadilan, memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan, serta memperbaiki sistem perpajakan Indonesia.

“UU ini merupakan bagian dari rangkaian reformasi perpajakan,” kata dia.