KETERGANTUNGAN KOMODITAS, Riskannya Pemulihan Fiskal

29 July 2022

BisnisIndonesia, Kamis, 28/07/2022 02:00 WIB

Penyehatan fiskal yang ditandai dengan catatan surplus anggaran selama 6 bulan berturut-turut terbilang cukup rawan guncangan. Tingginya ketergantungan setoran negara pada komoditas pun bisa menjadi bumerang.n

Kementerian Keuangan mencatat, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga paruh pertama tahun ini berhasil membukukan surplus hingga mencapai Rp73,6 triliun.

Angka tersebut setara dengan 0,39% terhadap produk domestik bruto (PDB).

Kinerja positif tersebut didorong oleh kinerja penerimaan pajak yang melaju cukup kencang.

Pemacu dari derasnya kucuran setoran negara itu bersumber dari tingginya harga sejumlah komoditas.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun mengakui bahwa penyehatan fiskal sangat terbantu oleh dua faktor penting, yakni harga komoditas dan rendahnya basis pembanding penerimaan pajak pada periode paruh pertama tahun lalu.

“Harga komoditas yang mengalami kenaikan memberikan dampak positif pada penerimaan negara,” kata Menkeu, Rabu (27/7).

Setoran ke negara yang bersumber dari pajak memang terus menanjak. Hingga semester I/2022, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp868,3 triliun, tumbuh 55% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Namun perlu diingat, ada satu faktor yang amat dominan dalam mengatrol penerimaan pajak pada tahun ini, yaitu komoditas.

Sejak pengujung tahun lalu, harga sejumlah komoditas memang terus parkir di level atas. Kondisi itu kian kokoh tatkala Rusia menginvasi Ukraina pada pengujung Februari 2022.

Pemerintah mencatat ada sejumlah produk yang diuntungkan pada kondisi ini, di antaranya adalah kelapa sawit, batu bara, tembaga, nikel, serta minyak dan gas (migas).

Hal itu dipertegas dengan realisasi penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Migas yang memang mencatatkan kenaikan cukup tinggi, yakni mencapai Rp43 triliun, melesat hingga 92,9% pada periode Januari—Juni 2022 secara tahunan.

Pun dengan sektor pertambangan, yang mampu membukukan performa sangat akseleratif. Pada paruh pertama tahun ini, setoran pajak dari pertambangan meroket hingga 286,8%, jauh di atas sektor lain.

“Pertambangan mengalami kenaikan luar bisa karena komoditas naik tinggi,” kata Sri Mulyani.

Hal yang menjadi persoalan kemudian adalah prospek harga komoditas yang tak lagi cerah pada sisa tahun ini.

Faktanya, besarnya ketergantungan pada komoditas juga mempercepat risiko penggerusan penerimaan.

Sejalan dengan itu, pemerintah perlu melakukan langkah antisipatif agar penerimaan pajak tetap optimal.

Apalagi, harga komoditas bersifat cyclical atau berlaku dalam periode tertentu. Artinya, tingginya harga komoditas bukan karena faktor struktural yang bertahan lama.

“Jadinya, harga komoditas akan memberikan dampak sementara terhadap penerimaan pajak,” kata Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar kepada Bisnis.

Dia memprediksi setoran negara dari komoditas akan melandai pada Agustus—September karena menguatnya ekspektasi terhadap tertahannya laju kenaikan harga produk tersebut.

Sementara itu, otoritas pajak seolah menutup mata dengan fakta belum maksimalnya pemulihan ekonomi dan risiko dari besarnya ketergantungan pada pajak komoditas.

Hal itu tecermin dari dinaikkannya target PPh Migas melalui APBN Perubahan, yakni dari Rp47,31 triliun menjadi Rp64,65 triliun, atau meningkat sebesar 36,65%.

Tak hanya itu, otoritas fiskal juga menaikkan target penerimaan PPh Badan atau pajak korporasi sebesar 39,01% yakni dari Rp185,14 triliun menjadi Rp257,37 triliun.

Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono menambahkan, kenaikan harga komoditas hanyalah momentum sesaat dan tidak ada jaminan mampu berulang.

WASPADA

Kondisi inilah yang perlu diwaspadai oleh pemerintah karena tingginya ketergantungan setoran pajak pada komoditas berisiko merapuhkan upaya pemangku kebijakan dalam menyehatkan fiskal.

“Kenaikan komoditas dan kinerja sektor bisnis pertambangan tidak terjadi berulang dan konsisten,” ujarnya.

Mahalnya harga komoditas memang menjadi pelicin setoran ke kantong negara. Akan tetapi, kondisi ini juga berimplikasi pada membengkaknya belanja terutama subsidi dan kompensasi energi.

Kementerian Keuangan mencatat realisasi belanja Kementerian dan Lembaga pada semester I/2022 mencapai Rp483,7 triliun. Belanja jumbo ini sebagian besar diserap untuk kompensasi dan subsidi tarif listrik, bahan bakar minyak (BBM) dan gas, serta Program Kartu Prakerja.

Dana untuk kompensasi yang awalnya hanya Rp18,5 triliun pun harus ditambah menjadi Rp275 triliun dengan persetujuan Dewan Perwakian Rakyat (DPR) yang kemudian dilegalisasi dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 98/2022 tentang Perubahan Atas Perpres No. 104/2021 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2022.

Penambahan anggaran tersebut dilakukan lantaran pemerintah menahan kenaikan harga listrik, minyak, dan gas agar tidak membebani masyarakat.

Saat ini, yang perlu diwaspadai dalam mengelola APBN bukan hanya kenaikan subsidi dari faktor harga. Kewaspadaan juga dilakukan seiring kenaikan pengguna atau konsumsi.

Berkaca pada kondisi tersebut, naiknya hargakomoditas memang menghadirkan polemik bagi tata kelola kas negara. Harga yang makin tinggi berkorelasi dengan penerimaan yang menggemuk, serta belanja subsidi yang meningkat.

Sepanjang pemerintah masih bergantung pada setoran penerimaan dari komoditas, selama itu pula polemik terus muncul.

Satu-satunya solusi adalah mengoptimalisasi sumber penerimaan di luar komoditas agar pemulihan fiskal bisa kokoh, tak lagi rentan, serta tahan guncangan.