KONSENSUS PERPAJAKAN GLOBAL RI Dorong Implementasi Serempak

03 November 2022

Tegar Arief & Wibi Pangestu Pratama
Kamis, 03/11/2022

Bisnis, JAKARTA — Pemerintah Indonesia akan mendorong implementasi bersama solusi dua pilar yang telah disepakati dengan 135 negara lainnya sejak pengujung tahun lalu, dalam rangka menjamin terciptanya keadilan pajak antara negara maju dan negara berkembang.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, menjelaskan Indonesia amat berkepentingan untuk mendorong berlakunya Pilar 1 dan Pilar 2 secara bersamaan.

Pemerintah bahkan akan mengupayakan tercapainya misi tersebut dalam agenda G20. Menurut Menkeu, sejauh ini salah satu negara yang sepaham dengan Indonesia adalah India.

Tujuan dari implementasi bersama solusi dua pilar adalah menciptakan keadilan pajak secara merata, terutama bagi negara berkembang.

Musababnya, segelintir yurisdiksi berupaya untuk mendorong implementasi salah satu pilar terlebih dahulu dengan harapan mampu menimbun setoran pajak di tengah sempitnya ruang fiskal akibat dampak pandemi Covid-19 dan tekanan krisis.

“Kami maunya implementasi dua-duanya harus berjalan bersama-sama,” kata Sri Mulyani dalam sebuah wawancara dengan Bisnis, pekan lalu.

Sejauh ini, rencananya implementasi Pilar 1 akan dilaksanakan pada paruh pertama tahun depan, sedangkan Pilar 2 baru akan diterapkan pada tahun berikutnya atau 2024.

Sekadar informasi, Pilar 1: Unified Approach mengakomodasi skema pemajakan untuk perusahaan digital dari sisi Pajak Penghasilan (PPh).

Dalam rumusan awal, Pilar 1 hanya terbatas pada sektor ekonomi digital seperti Automated Digital Services (ADS) dan Consumer Facing Businesses (CFB).

Skema ini pun menyasar perusahaan digital global seperti Google LLC, Amazon.com, Inc., dan sejenisnya.

Namun dalam perkembangannya, cakupan Pilar 1 disepakati lebih luas yakni dengan mengarah kepada seluruh korporasi multinasional yang memenuhi ambang batas atau threshold peredaran bruto global senilai 20 miliar euro dan profitabilitas di atas 10%.

Sementara itu, Pilar 2: Global Anti Base Erosion (Globe) mengakomodasi skema PPh korporasi minimum global atau global minimum tax dengan tarif sebesar 15%, serta Subject to Tax Rule (STTR) terkait dengan diberlakukannya tarif withholding tax.

Ketentuan pajak minimum itu berlaku untuk perusahaan multinasional dengan penerimaan minimal 750 juta euro.

Sejalan dengan skema ini, otomatis perusahaan jumbo yang melakukan perencanaan pajak secara agresif atau aggressive tax planning melalui penempatan kantor pusat di negara suaka pajak, tidak dapat mengelak dari kewajiban perpajakannya.

Akan tetapi, Pilar 2 memaksa pemerintah untuk melakukan reformasi insentif pajak yang selama ini terkucur cukup deras, terutama untuk memacu penanaman modal.

Sepanjang insentif masih ditebar atau pemerintah memberlakukan tarif PPh Badan kepada perusahaan multinasional di bawah 15%, maka Indonesia kehilangan potensi penerimaan.

Pudarnya potensi penerimaan itu disebabkan oleh ketentuan pada Pilar 2 yang memberikan kewenangan kepada negara domisili atau negara asal korporasi untuk memungut pajak jika negara pasar menetapkan tarif di bawah 15%.

Sri Mulyani menambahkan, tarik ulurnya implementasi solusi dua pilar tak lepas dari kentalnya akspek politik dalam konsensus perpajakan tersebut.

Beberapa negara maju misalnya, yang cukup agresif mendorong implementasi Pilar 1 dalam rangka mengamankan penerimaan pajak dari perusahaan digital berskala besar.

Melalui Pilar 1, perusahaan raksasa seperti Google dan Amazon wajib menyetorkan PPh kepada negara operasional sebagai bagian dari keadilan perpajakan internasional.

Singkatnya, kendati tidak berasal dari Indonesia, Google wajib menyetorkan pajak ke pemerintah karena bisnis yang dioperasikan di Tanah Air menghasilkan keuntungan.

“Google kan cuma satu, bagi-bagi pajaknya bayarnya ke siapa itu yang sekarang jadi perebutan,” kata Menkeu.

Dalam kaitan implementasi dua pilar itu, Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar, mengatakan Pilar 2 lebih cocok dengan permasalahan di Indonesia dibandingkan dengan Pilar 1.

Pasalnya, dengan adanya pajak minimum global maka ruang bagi korporasi melakukan praktik penghindaran pajak lebih tertutup, sehingga menjaga potensi penerimaan negara.

KEADILAN PAJAK

Selain itu, Pilar 2 juga menciptakan keadilan pajak yang lebih hakiki karena menuntut seluruh negara untuk memangkas insentif fiskal, terutama yang bertujuan untuk menarik investasi asing.

“Sementara itu Pilar 1 atau kita mau menerapkan unilateral digital service tax, menargetkan sedikit sekali sektor yang terdigitalsiasi, sehingga basis perpajakannya masih rendah di Indonesia,” jelasnya kepada Bisnis, Rabu (2/11).

Fajry menambahkan, tujuan dari Pilar 2 salah satunya adalah agar negara berkembang berhenti memberikan insentif pajak bagi perusahaan multinasional dan menggunakan anggaran tersebut ke hal-hal yang lebih tepat.

Apalagi, pemberian insentif pajak juga dapat digunakan untuk melakukan praktik penghindaran pajak.

“Oleh karena itu, kalau kita memaksakan pemberian insentif, itu bertentangan dengan tujuan awal Pilar 2,” ujarnya.

Fajry menambahkan, penghindaran pajak lintas yurisdiksi acat terjadi karena adanya perbedaan tarif PPh Badan, terutama yurisdiksi dengan tarif pajak sangat rendah seperti negara tax haven.

Adanya negara suaka pajak itu mendorong perusahaan multinasional untuk memindahkan profitnya ke negara tersebut tersebut. Inilah yang ingin diatasi oleh komunitas global melalui Pilar 2.

Melalui penerapan tarif PPh minimal, meskipun profit tersebut dipindahkan ke negara dengan tarif PPh Badan yang rendah penerimaan negara masih cukup aman.

“Jadi, negara-negara berkembang akan diuntungkan dengan berkurangnya praktik profit shifting. Dampaknya ke negara berkembang seperti Indonesia itu memang tak langsung,” jelasnya.

Editor : Tegar Arief