Pasar Properti Sekunder Butuh Insentif

26 March 2021

Jumat, 26 Maret 2021 |

Jakarta, Investor.id – Pengembang menilai properti sekunder juga membutuhkan insentif di tengah pandemi Covid-19. Insentif itu diharapkan dapat menggairahkan bisnis properti sehingga ikut mendorong pemulihan ekonomi nasional.

“Dampak insentif terhadap property secondary tentu sangat positif. Properti-properti yang mangkrak jika berhasil dijual tentu akan diperbaiki dan digunakan,” ujar Bambang Eka Jaya, direktur utama Cipta Graha Land, kepada Investor Daily, Kamis (25/3).

Bahkan, tambahnya, properti-properti komersial bisa dipakai untuk usaha yang pada ujungnya dapat menyerap tenaga kerja dan memutar roda bisnis.

Sebagaimana diberitakan, pemerintah membebaskan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk rumah tapak dan rumah susun (rusun) yang dibanderol berkisar Rp 300 juta hingga Rp 2 miliar. Lalu, mendiskon 50% untuk segmen harga Rp 2-5 miliar per unit. Langkah pemerintah menanggung PPN itu berlaku untuk hunian yang sudah jadi (ready stock) dan penyerahannya di rentang Maret-Agustus 2021. Properti yang dibeli tidak boleh dijual kembali dalam waktu satu tahun.

Ketentuan PPN ditanggung pemerintah tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No 21/PMK.010/2021 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Rumah Tapak dan Unit Hunian Rumah Susun yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2021. PMK itu berlaku mulai 1 Maret 2021.

Bambang berharap, selain insentif PPN dari pemerintah pusat, pemerintah daerah juga berkenan menurunkan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) dari 5% menjadi 2,5%. “Kami berharap insentif bisa diberikan paling tidak hingga akhir 2021 dan dievaluasi secara berkala,” tuturnya.

Menurut Bambang, potensi pasar sekunder sangat besar. Dari sisi nilai, jika ada 100 ribu properti di secondary market yang dijual dengan “harga covid”, yakni penjual siap merugi dengan harga rata-rata Rp 1 miliar per unit, artinya ada Rp 100 triliun uang investor yang digelontorkan untuk membeli properti. “Belum lagi multiplier effect-nya jika yang jual menggunakan dananya untuk melunasi utang perbankan. Dana itu akan masuk ke sistem perbankan dan ujungnya juga bisa membantu menggerakan pasar,” papar dia.

Dia menerangkan, harga properti di pasar sekunder berkisar Rp 1-10 miliar per unit. Namun, mengingat proses jual beli dikenai sejumlah pungutan dan pajak seperti BPHT, PPN hingga pajak bumi dan bangunan (PBB), transaksi di pasar sekunder menjadi kurang mulus. “Pajak dan pungutan yang dibayar oleh pembeli bisa mencapai 25% dari harga beli,” ujar Bambang.

Artikel ini telah tayang di Investor.id dengan judul “Pasar Properti Sekunder Butuh Insentif”