Pemerintah Akui Jumlah Kelas Menengah Terus Turun, Sejumlah Intensif Disiapkan
28 August 2024
Kelas menengah sangat berkontribusi kepada penerima pajak. Jika kelas menengah bertambah maka basis pajak juga semakin tinggi.
Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) mengakui, jumlah penduduk kelas menengah terus menurun beberapa tahun terakhir. Pemerintah pun coba memberikan sejumlah insentif ke kelas menengah.
Sekretaris Menko Perekonomian Susiwijono Moegiarso menjelaskan bahwa pemerintah menaruh perhatian kepada kelompok penduduk kelas menengah dan aspiring middle class (kelompok miskin yang berhasil naik kelas namun masih rentan miskin).
“Kita kan khawatir pada 2023 ke 2024 ini kan proporsi kelas menengah dan aspiring middle class mulai agak turun sedikit kan. Kita ingin mendorong meningkatkan kembali,” jelas Susiwijono di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Selasa (27/8/2024).
Dia mengakui, kelas menengah merupakan pendorong utama perekonomian Indonesia. Menurutnya, pertumbuhan jumlah kelas menengah akan berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Alasannya, sambung Susiwijono, karena kelas menengah sangat berkontribusi kepada penerima pajak. Jika kelas menengah bertambah maka basis pajak juga semakin tinggi.
“Kelas menengah ingin kita tingkatkan lagi jumlahnya karena share-nya ke ekonomi yang sangat besar,” jelas Susi.
Sementara itu, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan kelas menengah merupakan motor utama penggerak ekonomi. Menurutnya, kini proporsi kelas menengah sekitar 17,13% dari total penduduk Indonesia.
Airlangga menyatakan kelas menengah sangat berkontribusi dalam sektor kewirausahaan, penciptaan lapangan kerja, dan investasi.
“Ini [kelas menengah] tentu akan membuat perubahan sosial untuk mencapai Indonesia Emas 2045,” jelasnya pada kesempatan yang sama.
Mantan ketua umum Partai Golkar ini mengklaim pemerintah ingin terus mendukung kelas menengah dengan meluncurkan sejumlah insentif seperti program perlindungan sosial, insentif pajak, kartu prakerja, jaminan kehilangan pekerjaan, hingga kredit usaha rakyat.
Dia menyatakan, pemerintah berharap berbagai program tersebut diharapkan bisa menahan jumlah kelas menengah. Tak hanya itu, Airlangga menjelaskan bahwa pengeluaran terbesar kedua kelas menengah diperuntukkan untuk sektor perumahan.
Oleh sebab itu, pemerintah memutuskan memberikan dua insentif pembiayaan perumahan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh kelas menengah.
Pertama, insentif pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) sebesar 100% untuk pembelian rumah di bawah Rp5 miliar serta dengan batasan pemberian insensif sebesar Rp2 miliar.
Kedua, pemerintah menambah unit fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) dari yang semula 166.000 unit menjadi 200.000 unit.
“Jadi dengan dua kebijakan tersebut yang berlaku nanti untuk 1 September [hingga 31 Desember 2024], diharapkan ini juga mendorong kemampuan daripada kelas menengah, mendorong sektor konstruksi. Kita tahu sektor konstruksi itu dan perumahan itu multipliernya [efek bergandanya] tinggi,” ujar Airlangga.
Sementara itu, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengaku belum tahu pasti berapa besaran anggaran yang digelontorkan untuk biayai kebijakan PPN DTP 100% dan penambahan unit FLPP tersebut. Dia hanya menegaskan, pemerintah ingin insentif tersebut dimanfaatkan oleh sebanyak-banyaknya masyarakat.
“Kalau makin banyak rumah yang ditransaksikan, laku, itu berarti kegiatan ekonominya berputar. Jadi kita ingin malah itu dipakai sebanyak-banyaknya karena seperti yang dikatakan Pak Menko tadi, yang namanya perumahan itu multiplier-nya salah satu yang paling tinggi,” ujar Suahasil pada kesempatan yang sama.
Kelas Menengah Turun Kasta
Laporan terbaru dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat FEB Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menunjukkan, lebih dari 8,5 juta penduduk kelas menengah Indonesia turun kasta sejak 2018.
Dalam laporan Indonesia Economic Outlook Triwulan III/2024, LPEM UI mengategorikan kelas menengah sebagai penduduk yang memiliki peluang kurang dari 10% menjadi miskin atau rentan di masa depan berdasarkan konsumsinya saat ini—sesuai kategori Bank Dunia.
Berdasarkan definisi tersebut, LPEM FEB UI mengalkulasikan jumlah kelas menengah di Indonesia berdasarkan garis kemiskinan tingkat kabupaten/kota.
Hasilnya, jumlah kelas menengah sempat meningkat cukup tajam dari 2014 hingga 2018: dari 39 juta (15,6% jumlah penduduk) menjadi 60 juta jiwa (23% jumlah penduduk). Meski demikian, setelah 2018 yang terjadi malah sebaliknya
“Sejak saat itu, penduduk kelas menengah mengalami penurunan hingga lebih dari 8,5 juta jiwa. Hal ini menyebabkan jumlah penduduk kelas menengah hanya mencakup 52 juta jiwa [pada 2023] dengan proporsi populasi sekitar 18,8%,” jelas laporan LPEM FEB UI, dikutip Selasa (27/8/2024).
Masalahnya, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyatakan jika Indonesia ingin mencapai status negara berpenghasilan tinggi maka jumlah kelas menengah harus ditingkatkan menjadi 70% dari populasi Indonesia pada 2045 alias Indonesia Emas.
Sejalan, LPEM UI juga mencatat bahwa daya beli kelas menengah terus tergerus sejak 2018. Pada 2018, porsi konsumsi kelas menengah mencapai 41,9% dari total konsumsi rumah tangga di Indonesia.
Sejak saat itu, tren terjadi penurunan. Pada 2023, total konsumsi kelas menengah hanya mencapai 36,8% dari total konsumsi rumah tangga di Indonesia.
Padahal, mengutip laporan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), kelas menengah memegang peran penting bagi penerimaan negara: sumbang 50,7% dari penerimaan pajak.
“Jika daya beli mereka menurun, kontribusi pajak mereka mungkin berkurang yang berpotensi memperburuk rasio pajak terhadap PDB yang sudah rendah dan mengganggu kemampuan pemerintah untuk menyediakan layanan dan membiayai proyek pembangunan,” tekan laporan LPEM UI.