Pemerintah Tak Usah Obral Diskon Pajak RI Lagi!

10 October 2022

NEWS – Cantika Adinda Putri & Hadijah Alaydrus , CNBC Indonesia

10 October 2022

Jakarta, CNBC Indonesia – Upaya pemerintah mengembalikan defisit ke kisaran di bawah 3% pada 2023 mendapatkan tantangan berat. Kondisi ekonomi global tengah diguncang risiko resesi tahun depan.

Alhasil, guncangan eksternal ini akan mempengaruhi penerimaan negara dari pajak ke depannya. Di sisi lain, efek windfall profit atau ‘durian runtuh’ dari ekspor komoditas akan berkurang sering permintaan seret akibat perlambatan ekonomi dunia.

Dalam kondisi ini, pemerintah harus pintar-pintar mengelola anggaran dan pendapatan belanja negara (APBN).

Ekonom senior Chatib Basri mengungkapkan jika pemerintah ingin defisit berada di kisaran 2,6-2,9% terhadap PDB pada 2023, maka total penerimaan di dalam APBN harus mencapai 11,2 – 11,7% terhadap PDB, sementara rasio pajak sekitar 9%.

Jika ingin defisit turun di tengah penerimaan pajak yang mengalami penurunan, maka pemerintah harus memangkas belanja cukup besar.

“Makanya implikasinya adalah pasti dia contractionary dan fiskalnya harus prioritas. Ini opsinya,” kata Chatib dalam wawancara dengan CNBC Indonesia, dikutip Senin (10/10/2022).

“Defisitnya harus di bawah 3%, berarti spending-nya harus di-cut lebih banyak. Kalau spending cut lebih banyak, eksternalnya drop, moneternya tight, fiskalnya kontraksi lebih dalam. Efeknya lebih dalam,” papar Chatib.

Chatib menegaskan pemerintah harus berani memilih prioritas, antara anggaran yang perlu dan sekedar ‘ingin’ saja. Untuk proyek yang diinginkan, dia menilai pemerintah bisa menundanya.

“Prioritas penting pemerintah itu harus memisahkan mana ‘yang harus’ dan mana ‘yang ingin’. Kita gak punya ruang entertain ‘yang ingin’. Bayangin kalau revenue turun atau tidak setinggi tahun lalu. Kemudian, defisit diturunkan, berarti kan itu alokasi dari budget jadi ketat,” ujar Chatib.

Salah satu, kata Chatib, pos pengeluaran yang bisa dikaji pemerintah adalah insentif fiskal atau insentif pajak. Meskipun, dia memahami jika pos ini dipangkas, banyak pengusaha yang tidak ‘happy‘.

Dari catatan CNBC Indonesia, rata-rata belanja perpajakan 1,45%-1,62% dari PDB tiap tahunnya. Adapun, pada 2020, belanja perpajakan mencapai Rp234,7 triliun, angka tersebut naik menjadi Rp 309,66 triliun pada 2021.

Chatib mempertanyakan dampak belanja pajak yang besar kepada pertumbuhan ekonomi.

“Itu memang benar insentif pajak dikasih, ada dampaknya? Growth kita begitu-begitu aja tuh,” paparnya.

“Itu harus di-review karena kita seperti tukang obat kaki lima, ada apa-apa sebentar-bentar insentif pajak gitu. Sudah saatnya di-review,” tegasnya.

Dia melihat insentif fiskal untuk kendaraan, efeknya tidak masif terhadap penjualan. Pemerintah sendiri telah menyetop insentif pajak penjualan barang mewah (PPnBM) ditanggung pemerintah pada September 2022. Alasannya karena pemerintah melihat penerimaan pajak dari sektor otomotif telah kembali tumbuh sebesar 172% pada Agustus 2022, dibandingkan 29,4% pada periode yang sama tahun 2021.

Direktur CELIOS Bhima Yudhistira mengungkapkan pemerintah mengucurkan insentif pajak memang tidak semua berkorelasi dengan serapan tenaga kerja. Oleh karena itu, dia menilai pemerintah perlu melakukan evaluasi.

“Keringanan pajak, bea masuk korelasi dengan serapan tenaga kerja di beberapa sektor harus ada evaluasi sebelum melanjutkan insentif fiskal,” ujarnya.

Menghadapi ancaman resesi, Bhima melihat pemerintah seharusnya memberikan diskon berupa penurunan tarif PPN, misalnya dari 11% menjadi 8-9%. Menurutnya, insentif PPN ini akan langsung dirasakan oleh konsumen.

Di sisi lain, pajak terkait dengan mobil dan motor listrik bisa diterapkan, karena pajak ini akan mendukung transisi energi di dalam negeri.

Untuk insentif ini, pemerintah dimungkinkan bekerja sama dengan pemerintah daerah dengan adanya Undang-undang Harmonisasi Keuangan Pusat Daerah (UU HKPD).

“Dalam UU HKPD, Pemda punya keleluasan yang lebih luas, sehingga tidak semua belanja pajak ditanggung oleh belanja pajak pusat,” ujar Bhima.

Begitupun dengan insentif UMKM, pemerintah daerah bisa memberikan insentif berupa diskon PBB. Dengan demikian, tidak semua beban insentif ditanggung oleh pemerintah pusat.

Namun demikian, Bhima mengingatkan agar pembagian insentif pusat dan daerah perlu diperjelas. “Jangan double kepada penerima yang sama,” tegasnya.

Sementara itu, pemerintah sendiri tampaknya belum memiliki rencana mengurangi belanja pajak. Alih-alih berkurang, pemerintah justru tengah mengkaji perluasan tax allowance.

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah menyampaikan bahwa pihaknya akan memperluas bidang usaha yang akan menerima tax allowance atau keringanan pajak yang didasarkan pada nilai investasi bisnis.

Hal ini dibenarkan oleh Deputi Bidang Koordinasi Perekonomian dan Keuangan Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian Iskandar Simorangkir. Dia mengatakan pemerintah saat ini tengah meminta sektor-sektor mana yang akan diberikan tax allowance.

“Lagi diminta masukan sektor-sektor/KLBInya dari kementerian dan lembaga teknis,” kata Iskandar kepada CNBC Indonesia.

Adapun, pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 16/2020 terkait pemberian tax allowance ada 45 bidang usaha yang akan diberikan insentif. Sektor tersebut a.l. industri pengolahan kopi, industri berbasis daging lumatan dan surimi, industri pengolahan dan pengawetan ikan dan biota air (bukan udang) dalam kaleng, industri produk roti dan kue, dan industri makanan dari cokelat dan kembang gula.

Selain itu, ada industri lain yakni industri sepatu olah raga, industri pakaian jadi (konveksi) dari kulit, industri paku, mur dan baut, industri kertas tissue, industri alas kaki untuk keperluan sehari-hari dan industri kemasan dan kotak dari kertas dan karton serta industri kompor.