SENGKETA PAJAK : Menyoroti Putusan Pengadilan Pajak

12 February 2019

Bisnis.com,   Selasa, 12/02/2019 02:00 WIB

Kelembagaan Pengadilan Pajak (PP) kembali menjadi sorotan dari kalangan praktisi yang tergabung dalam Ikatan Kuasa Hukum dan Advokat Pajak Indonesia (Ikhapi). Sorotan independensi PP yang diatur dalam Pasal 5 UU 14/2002 dalam penilaian Ikhapi dirasa kurang tepat (Bisnis, 31/1).

Sedikitnya tiga persoalan yang disorot Ikhapi. Pertama, soal kelembagaan PP yang masih dibawah Kementerian Keuangan tetapi berada dalam pengawasan Mahkamah Agung. Kedua, para hakim PP yang berasal dari pegawai Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai (internal pemerintah). Ketiga, kapabilitas hakim yang mayoritas tidak berlatar belakang sarjana hukum.

Persoalan ketiga berkaitan dengan latar belakang pendidikan yang bukan sarjana hukum, hendak dimaknai dalam konteks putusan yang dikeluarkan kurang berargumentasi hukum yang berisi keadilan. Itu pula yang dikritisi karena kerap terjadi ketidakkonsistenan proses peradilan.

Misalnya terhadap dua kasus dengan substansi sama tetapi diputuskan berbeda oleh majelis hakim yang berbeda, sehingga memunculkan ketidakpastian hukum. Itu sebabnya wajib pajak sebagai pencari keadilan (justiciabelen) terus menyoroti kelembagaan PP. Penulis pun pernah menganalisis dua putusan berbeda pada satu persoalan hukum sama oleh majelis hakim berbeda.

Mempersoalkan putusan hakim PP (termasuk semua hakim dalam sistem peradilan) tidak semata dimaknai sebagai putusan yang didasarkan pada norma UU Pajak (sering disebut aliran positivisme hukum), tetapi mempersoalkan hakim dan tugasnya sebagai pelaksana hukum dan pencipta hukum.

Ahli hukum Mertokusumo menyatakan putusan hakim merupakan pernyataan yang diucapkan di persidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu sengketa (perkara) antar para pihak. Tugas pokok hakim memeriksa dan mengadili perkara yang dalam kenyataannya tidaklah sederhana.

Seperti juga dikemukakan Cardozo (mantan hakim Amerika), sekalipun pekerjaan memutuskan perkara berlangsung setiap hari di ratusan pengadilan dan telah mengikuti ribuan perkara di persidangan, dalam kenyataannya tidak ada sesuatu yang lebih jauh dari soal pengungkapan kebenaran (Sukarno Aburaera, dkk, 2013–228).

Itu bermakna hakikat seorang hakim diharapkan bisa memberi pertimbangan tentang salah tidaknya seseorang dalam suatu peristiwa yang dipersengketakan, yang kemudian memberikan dan menentukan hukumnya. Dalam penentuan hukumnya tidak melulu berarti penentuan norma undang-undang semata, tetapi penentuan yang bertumpu pada idea keadilan dan kekuatan moral.

Dalam amatan demikian, putusan yang hanya didasarkan pada norma undang-undang dari sisi hukum belum sepenuhnya mewujudkan keadilan. Pasalnya, hukum positif kadang-kadang menghambat perkembangan hidup dan sangat merugikan keadilan. Menyimak ungkapan Luypen (1922-1980) hanya hukum yang menurut norma-norma keadilan saja yang sungguh mewajibkan.

Maka, menjadi salah besar jika hakim berprinsip pada anutan positivisme yuridis yang menganggap hukum hanya sekedar ‘kenyataan legal’ belaka. Hakim mesti memahami hakekat dalam hukum, yakni keinsyafan keadilan yang hidup dalam hati manusia. Pembentukan undang-undang mesti berisikan norma keadilan, bila tidak, hukum yang sebenarnya tidak ada.

Kalau begitu, adanya pemberitaan putusan hakim PP yang memutus persoalan sengketa pajak dinilai inkonsisten terhadap dua putusan berbeda atas substansi yang sama, menjadi pembelajaran penting memahami keadilan dalam hukum. Hal ini termasuk substansi adanya putusan MA yang mementahkan putusan PP.

Memang tidak mudah memahami keadilan dalam hukum (hukum pajak), ditambah dengan kritikan mempersoalkan hakim PP yang berlatar belakang pendidikan administrasi perpajakan. Penulis sangat menyadari kondisi itu. Oleh karenanya, sorotan keberadaan PP serta putusan hakim PP, menjadi masukan amat berharga untuk kepentingan keadilan pajak buat kita semua.

Profesi Hakim

Persoalan sengketa pajak sebenarnya merupakan persoalan biasa, karena adanya perbedaan dalam memahami pungutan pajak yang diatur dalam undang-undang. Bahkan dalam catatan penulis, lebih dari 20 putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mempersoalkan keadilan dalam norma UU pajak yang diajukan konstitusional review.

Artinya, secara konstitusional ruang keadilan dalam norma undang-undang pajak menjadi persoalan pokok dalam mekanisme pungutan pajak yang dilakukan pemerintah. Pengujian undang-undang pajak ke MK memberi arti ruang keadilan menjadi amat penting dalam penyusunan suatu norma hukum.

Hakim PP yang memeriksa suatu perkara dalam sengketa pajak menghendaki putusan bersifat adil seperti dinyatakan dalam irah-irah putusan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 84 UU No. 14/2002). Tentu berat tugas hakim sebagai ‘wakil Tuhan’ di bumi untuk memberikan keadilan yang seadil-adilnya.

Kalau begitu, setiap peristiwa sengketa pajak mesti terlebih dahulu dikonstatir oleh hakim. Konstatering yang dilakukan hakim harus punya kepastian, tidak sekadar dugaan atau kesimpulan dangkal. Segala sarana atau alat untuk memastikan tentang peristiwa yang terjadi mesti digunakan.

Setidaknya empat teori menentukan kebenaran peristiwa seperti dikemukakan Kattsoff. Pertama, teori koherensi (keadaaan saling berhubungan satu pernyataan dengan pernyataan lain atau pengalaman yang ada). Kedua, teori korespondensi (suatu pernyataan benar jika sesuai dengan fakta).

Ketiga, teori empiris yakni kebenaran adalah berdasarkan pada pengalaman-pengalaman indrawi manusia. Pernyataan bersifat meramalkan atau hipotesis apabila ramalan makna pernyataan terpenuhi, maka itu kebenaran. Keempat, teori pragmatis bahwa kebenaran merupakan gagasan yang berguna atau dapat dilaksanakan dalam suatu situasi.

Menariknya ketika suatu peristiwa atau sengketa pajak tidak mudah diselesaikan, karena hukumnya belum ada atau bersifat ‘abu-abu’ sehingga hakim kesulitan untuk memutusnya.

Hal itu bisa terjadi akibat perkembangan dunia bisnis lebih cepat daripada perkembangan norma hukum pajak.

Profesi hakim sebagai prosesi mulia yang memberi keadilan pastinya dianggap tahu akan hukum (ius curia novit) untuk menyelesaikan peristiwa yang terjadi. Meskipun hakim pajak mungkin tidak tahu hukumnya, hakikat hakim diharapkan dapat mempertimbangkan dan memutus peristiwa tentang siapa yang benar dan keadilan dapat diterima para pihak.

Bahkan, ketika hakim menilai undang-undang tidak memberi keadilan, hakim dapat menyimpang dari undang-undang dalam menjatuhkan putusan berdasarkan perkembangan kehidupan dalam masyarakat. Mungkin itu juga alasan mengapa hakim dikatakan ‘yang mulia’ dalam penyebutan di persidangan.

Maka, sorotan publik yang menilai independensi kelembagaan PP serta ragam putusan yang dalam kajian hukum dirasa belum memenuhi rasa keadilan, kiranya menjadi momentum penting membawa PP menjadi lembaga yang dibutuhkan masyarakat sebagai pencari keadilan.

Harapan besar itulah yang dinantikan semua pihak, terlebih dengan kian kompleksnya perkembangan bisnis serta persoalan pungutan pajak yang menghendaki hukum yang dapat memberi keadilan buat semua. Semoga saja itu bisa diwujudkan segera.